Featured Post

Sifat-sifat Unsur dan Kegunaannya

A. Hidrogen 1. Pengertian Hidrogen berasal dari bahasa Yunani, yaitu hydro yang berarti air dan genes yang berarti pembentukan. Hidrogen a...

Tuesday 26 July 2016

Materi Korosi

1. Korosi

Korosi merupakan proses degradasi mutu/kualiatas suatu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Korosi adalah lawan/kebalikan dari proses pengolahan bijih logam. Proses korosi terjadi karena logam–logam tersebut secara termodinamik lebih stabil berada dalam kondisi teroksidasi (terkorosi) daripada kondisi tereduksi (Trethwey, 1991). Korosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: kelembaban udara, elektrolit, zat terlarut pembentuk asam, oksigen, dan jenis logam. Misalnya saja baja, ketika berada dalam lingkungan industri, akan bereaksi membentuk kerak berwarna coklat yang komposisinya mendekati Fe2O3.H2O, dimana produk ini tidak dapat melindungi logam dari lingkungan sekitarnya. Reaksi ini berlangsung dengan kecepatan linier sampai keseluruhan dari logam terkonsumsi (Shreir, 1994).

Korosi merupakan suatu proses elektrokimia sehingga proses terjadinya korosi memerlukan beberapa syarat, diantaranya adanya anoda, katoda, elektrolit/media, dan rangkaian listrik. Anoda dan katoda terdapat pada daerah-daerah permukaan logam yang terkorosi. Anoda merupakan daerah yang teroksidasi dengan melepaskan elektron dari atom logam netral dan menjadi ion logam yang membentuk produk korosi (bentuk teroksidasi) yang tidak dapat larut. Sedangkan daerah katoda merupakan daerah yang tereduksi dengan menangkap elektron dari logam tersebut.

Reaksi-reaksi yang terjadi pada anoda dan katoda sebagai berikut:

Dari reaksi anoda dan katoda di atas, dapat diketahui bahwa korosi yang terjadi merupakan akibat dari reaksi redoks (Trethwey, 1991).


Gambar 1. Proses elektrokimia pada korosi baja (pH>7)

Gambar di atas menjelaskan mengenai proses elektrokimia pada korosi baja dalam suasana basa (pH>7). Reaksi pada anoda dapat menghalangi pelarutan logam lebih lanjut (lapisan pasifasi) dimana reaksi korosi berhenti. Sementara pada katoda biasanya tidak mengalami korosi, namun terdapat kemungkinan adanya kerusakan dalam kondisi tertentu. Apabila pada suasana asam (pH<7), elektrolit yang digunakan adalah larutan asam dan reaksi yang terjadi pada katoda akan mengubah ion H+ menjadi H2. Reaksi pada anoda, baik dalam suasana asam maupun basa, adalah sama dimana akan mengubah atom-atom logam netral menjadi ion-ionnya. Hal ini yang mengakibatkan massa logam berkurang.

2. Termodinamika Korosi

Fenomena korosi dapat diketahui melalui termodinamikanya, yakni dengan cara melihat apakah suatu logam dapat mengalami korosi atau tidak dengan melihat perubahan nilai energi bebasnya (∆Go). Logam-logam yang memiliki ∆Go positif lebih sulit terkorosi daripada logam dengan nilai ∆Go negatif. Korosi pada logam-logam tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu yang dapat dilihat dari persamaan 2.1
∆G = ∆Go + RT ln K       (2.1)
dimana, T = 298 K,   R = 8,3143 Jmol-1K-1,   dan K merupakan tetapan kesetimbangan.
Apabila nilai ∆G dihubungkan dengan potensial listrik dengan persamaan Faraday, maka diperoleh persamaan 2.2.
∆G = -n.F.E       (2.2)
dimana, n adalah jumlah elektron yang dipindahkan, E adalah potensial terukur (volt), dan F adalah besarnya muatan yang dipindahkan oleh satu mol elektron dengan nilai 96494 (C.mol-1). Nilai negatif menunjukkan muatan dari elektron (Trethwey, 1991).

Termodinamika dari material padat, reaksi-reaksi kimia dan elektrokimia dari logam, dengan lingkungannya dalam larutan berair dapat digambarkan dengan menggunakan diagram pourbaix. Diagram ini menunjukkan daerah pasif dan daerah kebal dalam hubungan potensial-pH sistem pada suhu dan tekanan tertentu. Gambar 2.2 merupakan diagram Pourbaix untuk besi. Diagram ini berguna untuk mempelajari spesies besi dalam air karena total konsentrasi besi adalah rendah dan cenderung terdisosiasi. Reaksi setengah selnya :
Fe3+(aq) + e- → Fe2+(aq) E0 = +0,77 V

Apabila pengaruh pH tidak diperhitungkan (potensial tetap), akan digambarkan dengan garis horizontal dimana dalam gambar 2.2 akan memisahkan antara Fe2+ dan Fe3+. Fe(OH)3(s) akan terbentuk dari Fe3+ dimana pembentukannya bergantung pada pH, dengan Fe3+(aq) berada pada pH rendah dan Fe(OH)3 berada pada pH tinggi. Sementara itu, jika Fe(OH)3(s) bereaksi dengan ion H+ akan menyebabkan adanya pembentukan ion Fe2+ sehingga potensialnya dapat dihitung melalui persamaan berikut:
Ε=Ε^0-(0,059 V) log⁡〖[Fe^(2+)]/[H^+]〗     (2.3)
Persamaan 2.3 menunjukkan bahwa potensial turun secara linear dengan meningkatnya pH, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2. Daerah potensial dan pH yang berada di atas garis menunjukkan kondisi dimana spesies teroksidasi, Fe(OH)3, adalah stabil. Agen pengoksidasi diperlukan untuk mengoksidasi dan mengendapkan ion Fe2+ dalam media asam daripada dalam media basa.


Gambar 2.2 Diagram pourbaix unsur besi dalam air (Honeycombe, 1995).

Reaksi yang terjadi secara keseluruhan dapat dituliskan sebagai berikut:

(Talbot, 1998).

3. Kinetika Korosi

Kinetika korosi selalu berhubungan dengan laju atau kecepatan korosi pada suatu logam atau paduan. Laju korosi dari tiap-tiap logam tidak sama, tergantung pada sifat bahan dan lingkungannya. Untuk menentukan laju korosi suatu logam diperlukan parameter pengukuran, seperti densitas arus korosi (i), dimana densitas arus korosi merupakan arus (I) persatuan luas (A).

Menurut hukum Faraday :
m=(I.t.a)/nF     (2.4)
dimana m adalah massa logam yang teroksidasi, I adalah arus yang digunakan, t waktu yang diperlukan, a berat molekul, n jumlah elektron yang terlibat, dan F adalah bilangan Faraday.
Adanya aliran elektron pada permukaan logam menghasilkan laju korosi (r) sebesar :
r=m/(t.A)=(i.a)/nF     (2.5)
sehingga, laju korosi logam dengan adanya densitas (D) dapat dituliskan menjadi :
r=(0,129 a.i)/nD     (2.6)
dimana D dalam g/cm3 dan 0,129 adalah tetapan proporsional (Jones, 1996).

4. Metode Pengukuran Laju Korosi

Polarisasi

Polarisasi merupakan selisih antara potensial logam dan potensial korosi bebas dalam kesetimbangan larutan. Polarisasi disebut juga sebagai overvoltage dinotasikan dengan (η). Polarisasi merupakan parameter penting dalam pengukuran laju korosi. Persamaan laju korosi (v):
v = A exp [-∆G/RT] [reaktan]     (2.7)
dengan A = tetapan

Pada keadaan setimbang, laju reaksi anoda (ia) sama dengan laju reaksi katoda (ic). Konsentrasi reaktan sebagai tetapan dapat digabungkan menjadi suatu tetapan baru yaitu Ao. Pada laju reaksi anoda, energi bebas aktivasinya adalah ∆G#, sehingga persamaannya dapat dituliskan seperti pada Persamaan 2.12.
ia= io = Ao exp [-∆G#/RT]     (2.8)

Apabila (ia>ic), maka proses korosi berlangsung secara menyeluruh, sehingga kesetimbangan menjadi rusak dan energi bebas logam berada pada tingkat yang berlainan dengan energi bebas ionnya.

Polarisasi atau penyimpangan potensial kesetimbangan, sama dengan gabungan polarisasi anoda logam dengan polarisasi katoda pada lingkungannya. Jika polarisasi keseluruhan adalah η dan polarisasi anoda (1-α) η, maka besarnya polarisasi katoda αη. Polarisasi dapat dikalikan dengan faktor zF, sehingga energi aktivasi baru untuk reaksi anoda adalah [∆G# -(1-α).η.z.F]. Karena tingkat energi logam bertambah, sedangkan energi aktivasinya berkurang, maka persamaannya dapat dituliskan menjadi persamaan 2.9.

Ekstrapolasi Tafel merupakan metode pengukuran laju korosi berdasarkan kurva η versus log i. Polarisasi katodik dan anodik menghasilkan suatu garis lurus dengan kemiringan (slope) tertentu dimana nilai dari slope merupakan tetapan dari η. Ekstrapolasi tafel dikenal sebagai ilustrasi pengaplikasian mixed potential theory pada korosi aquous. Ketepatan katodik ekstrapolasi tafel membutuhkan sebuah proses reduksi tunggal dan kondisi ini sering ditemukan pada daerasi larutan asam kuat dimana terjadi reduksi ion H+ menjadi H2.

Apabila dari persamaan Tafel diubah ke dalam bentuk grafik, maka akan diperoleh plotting antara variasi polarisasi terhadap log i, baik untuk reaksi anoda maupun reaksi katoda menghasilkan perpotongan antara kedua garis tersebut, yaitu potensial korosi (Ekor) dan arus korosi (io) yang digambarkan pada Gambar 2.2.

Polarisasi katodik sebesar ec maka icakan naik dan ia akan turun; sehingga:
i ukur = ia - ic     (2.13)
Saat polarisasi meningkat, maka akan didapat persamaan 2.15.
ηa = βa log [( iterukur + ic) / io ]     (2.14)


Gambar 2.3 Pengeplotan Tafel Teoritis


Gambar 2.4 Pengeplotan Tafel praktis

Apabila i ukur>ic , maka dihasilkan pengeplotan Tafel yang linier. Namun bila ia≤ io (polarisasi mendekati nilai Ekor), maka harga iukur jauh meninggalkan ia yang sebenarnya dan penyimpangan yang besar dari perilaku liniernya akan terjadi (Trethwey, 1991).

Potensiodinamik

Metode potensiodinamik merupakan metode pengukuran kuantitatif terhadap sifat korosi suatu bahan. Potensiodinamik biasanya digunakan pada pengukuran perilaku aktif-pasif suatu logam. Metode ini menggunakan kontrol overpotensial secara langsung, sehingga laju korosi dapat teramati melalui pembacaan langsung kurva polarisasi potensialnya. Metode pengukuran ini pada umumnya menggunakan tiga elektroda. Skema secara umum metode potensiodinamik dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Rangkaian alat potensiodinamik

Prosedur potensiodinamik menggunakan suatu potensial yang ditingkatkan dari Ekor keadaan aktif. Potensiodinamik dapat diprogram untuk meningkatkan potensial secara kontinyu dari potensial korosi (Ekor). Arus yang terpakai meningkat sejalan dengan potensial yang mengikuti kurva anodik. Kurva polarisasi anodik dalam potensiodinamik, mengikuti putaran pasif kurva anodik (Jones, 1996).

5. Pengendalian Korosi

Setiap komponen yang terbuat dari logam akan mengalami 3 tahapan utama, yaitu: perancangan, pembuatan, dan pemakaian. Pengendalian korosi memainkan peranan penting dalam setiap tahapnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghambat/mencegah terjadinya proses korosi antara lain:
1. Memisahkan logam dari lingkungan
Memisahkan logam dari lingkungan adalah acara yang sangat populer dan banyak dilakukan. Cara ini meliputi pelapisan dengan lapisan pelindung organik atau anorganik (logam/bukan logam). Teknik perlindungan ini dapat dilakukan dengan pengecatan, semprot, dan lain sebagainya.
2. Mempertinggi ketahanan logam
Membuat logam tahan terhadap korosi, dimaksudkan untuk memperoleh ketahanan korosi dari logam dalam lingkungan tertentu. Ketahanan logam dari korosi dapat diperoleh dengan cara dapat menghindarkan adanya daerah-daerah katodik dan anodik pada permukaan logam, atau menjadikan permukaan logam tertutup oleh lapisan yang protektif.
3. Membalikkan arah arus korosi

Cara ini biasanya dikenal dengan istilah proteksi katodik dimana proses korosi dicegah dengan jalan memperlakukan logam yang dilindungi sebagai katoda. Cara ini biasanya dipakai untuk pencegahan korosi pipa-pipa baja, rel kereta api. Pipa-pipa baja ini dihubungkan ke tanah dengan kawat aluminium/seng sehingga pada baja terjadi arus anoda dan kawat penghubung terjadi arus katoda. Hal ini menyebabkan pipa baja tidak terkorosi dan kawat penghubung yang akan terkorosi (Trethwey, 1991).

Condacting Polimer (CP)

Pelapisan condacting polimer (CP) telah banyak diuji oleh peneliti sebagai anti korosi. Condacting polimer (CP) dapat digunakan sebagai sebuah pelapis baja. CP biasanya dimanfaatkan sebagai lapisan primer pada pengecatan atau sebagai aditif untuk pelapisan organik. CP yang biasanya digunakan yaitu polianilin (Pani), polipirol (PPy) dan polythiophene (PTH) (S. Biallozor, 2005). Beberapa mekanisme yang telah dilakukan oleh peneliti untuk menjelaskan peran CP sebagai pelapis anti korosi. Pertama didasarkan pada potensi redoks CP, yang lebih positif dibandingkan dengan substrat logam (W.K. Lu, 1998).

Di sisi lain, dari sejumlah literatur telah menunjukkan bahwa CP primer dikombinasikan dengan cat memberikan perlindungan dari korosi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pelapisan cat sebagai lapisan primer saja. Misalnya CP dikombinasikan dengan epoxy dan polyurethane resin (A.J. Domonis, 2003). Modifikasi cat dengan penambahan konsentrasi rendah dari CP (0,2-0,3% b/b) telah terbukti memberikan ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan dengan cat tidak dimodifikasi (J.I. Iribarren, 2005). Dengan demikian, cat yang termodifikasi CP dapat mencegah baja dari korosi dengan mengisolasi substrat dari lingkungan, yaitu membatasi akses polutan oksigen, air atau lainnya untuk permukaan baja. Untuk membuat cat lebih efektif, beberapa inhibitor korosi sering ditambahkan seperti serbuk seng, besi oksida, senyawa kromium dan lain-lain. Namun, beberapa anti korosi aditif mengurangi kinerja cat dan bahkan dapat mengakibatkan dalam masalah lingkungan dan kesehatan. Dengan demikian, saat ini CP waktu dianggap alternatif untuk menggantikan pigmen anti korosi.

Daftar Pustaka

Honeycombe, R.W.K, (1995), Steels Microstructure and Properties, Second Edition, Edward Arnold, London
Jones, Denny A., (1996), Principle and Prevention of Corrosion, Second edition, 477-570
Scendo, M., (2007), Inhibitive action of the purine and adenin for copper corrosion in sulphate solution, Corrosion Science 49: 2985-3000
Shreir, L., Jarman, R. A., (1994), Corrosion; Metal/Environtment Reactions, third edition, Reed educational and professional publishing Ltd, Oxford, 5
Talbot, David; Talbot, James, (1998), Corrosion Science and Technology, CRC Press LLC, USA
Thretwey, Kenneth R dan John Camberlein, (1991), Korosi untuk Mahasiswa Sains dan Rekayasa Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

1 comment: