Featured Post

Sifat-sifat Unsur dan Kegunaannya

A. Hidrogen 1. Pengertian Hidrogen berasal dari bahasa Yunani, yaitu hydro yang berarti air dan genes yang berarti pembentukan. Hidrogen a...

Thursday, 28 July 2016

SILIKON (Si) dan GERMANIUM (Ge)

SILIKON (Si) DAN GERMANIUM (Ge) A. Silikon

Silikon (Si) berasal dari bahasa latin yaitu silicium, memiliki nomor atom 14. Unsur kimia ini ditemukan oleh Jons Jakob Berzelius. Silikon adalah unsur kimia terbanyak kedua setelah oksigen yang berada di dalam kerak bumi, yaitu sekitar 25,7%. Terdapat di alam dalam bentuk tanah liat, granit, kuartza dan pasir, kebanyakan dalam bentuk silikon dioksida (silika) dan dalam bentuk silikat.

Silikon adalah polimer anorganik yang bervariasi, dari cairan, gel, karet, hingga sejenis plastik keras. Beberapa karakteristik khusus silikon: tak berbau, tak berwarna, kedap air, serta tak rusak akibat bahan kimia dan proses oksidasi, tahan dalam suhu tinggi, serta tidak dapat menghantarkan listrik.


Gambar 1. Padatan Silikon


Gambar 2. Ikatan kristal Silikon

1. Sifat-sifat Fisika dan Kimia

b. Sifat-sifat Kimia dari Silikon:

Silikon murni berwujud padat seperti logam dengan titik lebur 14100C. silikon dikulit bumi terdapat dalam berbagai bentuk silikat, yaitu senyawa silikon dengan oksigen. Unsur ini dapat dibuat dari silikon dioksida (SiO2) yang terdapat dalam pasir, melalui reaksi:
SiO2(s) + 2C(s) → Si(s) + 2CO(g)

Silikon murni berstruktur seperti Intan ( tetrahedral) sehingga sangat keras dan tidak menghantarkan listrik, jika dicampur dengan sedikit unsur lain, seperti alumunium (Al) atau boron (B). silikon bersifat semikonduktor (sedikit menghantarkan listrik), yang diperlukan dalam berbagai peralatan, elektronik, seperti kalkulator dan Komputer. Itulah sebabnya silikon merupakan zat yang sangat penting dalam dunia modern. Untuk itu dibutuhkan silikon yang kemurniannya sangat tinggi dan dapat dihasilkan dengan reaksi:
SiCl4(g) + 2H2(g) → Si(s) + 4HCl(g)

Jari-jari silikon lebih besar dari karbon, sehingga tidak dapat membentuk ikatan π (rangkap dua atau tiga) sesamanya, hanya ikatan tunggal (σ). Karena itu silikon tidak reaktif pada suhu kamar dan tidak bereaksi dengan asam, tetapi dapat bereaksi dengan basa kuat seperti NaOH.
Si(s) + 4OH-(aq) → SiO4(aq) + 2H2(g)

Pada suhu tinggi, silikon dapat bereaksi dengan hidrogen membentuk hidrida, dan dengan halogen membentuk halida, seperti:
Si(s) + 2H2 → SiH4
Si(s) + 2Cl2 → SiCl4

Batuan dan mineral yang mengandung silikon, umumnya merupakan zat padat yang mempunyai titik tinggi, keras, yang setiap keping darinya merupakan suatu kisi yang kontinu terdiri dari atom-atom yang terikat erat. Sebuah contoh dari zat padat demikian, adalah silikon dioksida, yang terdapat dialam dalam bentuk kuarsa, aqata (akik), pasir, dan seterusnya.


Gambar 3. Ikatan SiO2


Gambar 4. Ikatan kovalen Silikon

c. Reaksi-reaksi Silikon:

Reaksi dengan Halogen: Si + 2X2 → SiX4
Asam-oksi: H4SiO4(s) + 4 NaOH(aq) → Na4SiO4(aq) + H2O(aq)

Bila kering sebagian (parsial) asam silikat disebut gel silika (suatu asam yang agak mirip dengan garam buatan, NaCl). Dalam bentuk ini ia mempunyai kapasitas menyerap yang besar terhadap uap air, belerang dioksida, asam sitrat, benzena dan zat-zat lain, ia digunakan secara luas sebagai bahan untuk menghilangkan kelembaban dalam wadah-wadah kecil yang tertutup.

Garam-garam asam oksi dari kedua asam silikat tadi meliputi; Na2SiO3 (natrium metasilikat), Na4SiO4 (natrium ortosilikat), Mg2SiO4 (magnesium ortosilikat), LiAl(SiO3)2 (litium alumunium metasilikat). Semua silikat ini kecuali silikat dari Na+, K+, Rb+, Cs+, dan NH4+, praktis tidak larut dalam air.

Semua silikat yang larut, membentuk larutan yang bersifat basa bila dilarutkan dalam air. Ion SiO32-, bertindak sebagai basa dengan menghilangkan proton dari air.
SiO32-(aq) + H2O(aq) → HSiO3-(aq) + OH-(aq)

Suatu sifat kimia yang penting dari silikon adalah kecenderungan yang membentuk molekul yang signifikan besar. Silikon cenderung membentuk ikatan tunggal (masing-masing membentuk 4 dan 3 ikatan tunggal). Silikon membentuk molekul-molekul dan ion-ion raksasa, atom oksigen membentuk kedudukan yang berselang-seling.

2. Karakteristik Silikon

Atom silikon dapat membentuk empat ikatan secara serentak silikon dalam susunan tetrahedral, unsur Si mengkristal dengan struktur kubus pusat muka (fcc) seperti intan, silikon bersifat semi konduktor. Dalam silika SiO2, setiap atom Si terikat pada empat atom O dan tiap atom O terikat pada dua atom Si. Susunan struktur tersebut membentuk jaringan yang sangat besar, yaitu struktur kristal kovalen raksasa (seperti intan). Kuarsa mempunyai titik leleh tinggi dan bersifat insulator. Kuarsa merupakan bentuk umum untuk silika serta banyak juga silika dalam bentuk lain, sehingga umumnya disebut mineral silika. Sebagian besar silika tidak larut dalam air. Hanya silikat dari logam alkali yang dapat diperoleh sebagai senyawa yang larut dalam air. Sifat umum dari mineral silikat adalah kekomplekan anion silikatnya, namun struktur dasarnya merupakan tetrahedral sederhana dari empat atom O disekitar atom pusat Si, tetrahedral ini dapat berupa: unit terpisah; bergabung menjadi rantai atau cincin dari 2,3,4 atau 6 gugus; bergabung membentuk rantai tunggal yang panjang atau rantai ganda; tersusun dalam lembaran; terikat menjadi kerangka tiga dimensi.
SiO44-(aq) + 4H+(aq) → Si(OH)4(aq)

3. Reaktifitas silikon dan senyawanya

Kereaktifan silikon sama halnya dengan boron dan karbon yaitu sangat tak reaktif pada suhu biasa. Bila mereka bereaksi, tak ada kecendrungan dari atom-atom mereka untuk kehilangan elektron-elektron terluar dan membentuk kation sederhana, seperti B3+, C4+ dan Si4+. Ion-ion kecil ini akan mempunyai rapatan muatan begitu tinggi, sehingga eksistensinya tidaklah mungkin. Namun atom-atom ini biasanya bereaksi dengan persekutuan antara elektron merekamembentuk ikatan kovalen. Bila dipanaskan dalam udara, unsur-unsur itu bereaksi dengan oksigen dalam reaksi pembakaran yang sangat eksotermik untuk membentuk oksida B2O3, CO2 dan SiO2, ketiga oksida ini bersifat asam.

SiO2 pada hakikatnya tidak reaktif dengan air pada suhu-suhu biasa. Namun dua asam silikat sederhana adalah asam ortosilikat, H4SiO4 dan asam metasilikat, H2SiO3- Kedua senyawa ini praktis tak larut dalam air, tetapi mereka bereaksi dengan basa, contohnya
H4SiO4(s) + 4NaOH(aq) → Na4SiO4(aq) + 4H2O(aq)

Bila kering sebagian (parsial), asam silikat disebut gel silika (suatu bahan yang agak mirip dengan garam batuan, NaCl). Dalam bentuk ini, ia mempunyai kapasitas menyerap yang besar terhadap uap air, belerang dioksida, asam nitrat, benzena dan zat-zat lain. Ia digunakan secara luas sebagai bahan untuk menghilangkan kelembaban dalam wadah-wadah kecil.

4. Kegunaan silikon dan senyawa silikon

Penggunaan penting dari silikon adalah dalam pembuatan transistor, chips, komputer dan sel surya. Untuk tujuan itu diperlukan silikon ultra murni. Silikon juga digunakan dalam berbagai jenis alise dengan besi (baja). Sedangkan senyawa silikon digunakan dalam industri. Silica dan silikat digunakan untuk membuat gelas, keramik, porselin dan semen.

Larutan pekat natrium silikat (Na2SiO3), suatu zat padat amorf yang tidak berwarna, yang disebut water glass, digunakan untuk pengawetan telur dan sebagai perekat, juga sebagai bahan pengisi (fillir) dalam detergent.

Silikon karbida (SiC), merupakan zat padat yang sangat keras digunakan untuk ampelas dan pelindung untuk pesawat ulang alik terhadap suhu yang tinggi sewaktu kembali kebumi. Silica gel, suatu zat padat amorf yang sangat berfori, dibuat dengan melepas sebagian air dari asam silikat (H2SiO3) atau (SiO2H2O). silica gel bersifat higroskopis, sehingga digunakan sebagai pengering dalam berbagai macam produk.

B. Germanium

Germanium ditemukan oleh Clemens A. Winkler di Freiberg, Jerman pada tahun 1886. Germanium berasal dari bahasa latin yaitu GermaniaI. Germanium murni ditemukan dalam bentuk yang keras, berkilauan, berwarna putih keabu-abuan, tapi merupakan metalloid yang rapuh. Germanium stabil di udara dan air pada keadaan yang normal, dan sukar bereaksi dengan alkali dan asam, kecuali dengan asam nitrat. Berikut adalah senyawa germanium, GeO2, GeCl4, GeS2, SiGe.

Gambar 5. Padatan Germanium

Sumber Logam Germanium yaitu argyrodite (sulfida dari germanium dan perak) argyrodite, a sulfide of germanium and silver germanite, which contains 8 percent of the element; germanite (mengandung 8% germanium); seng ores; batu bara; dan mineral lain. Unsur ini diambil secara komersil dari debu-debu pabrik pengolahan bijih-bijih seng, dan sebagai produk sampingan beberapa pembakaran batubara. Germanium dapat dipisahkan dari logam-logam lainnya dengan cara distilasi fraksi tetrakloridanya yang sangat reaktif. Tehnik ini dapat memproduksi germanium dengan kemurnian yang tinggi.

1. Sifat-sifat fisika dan kimia

2. Kegunaan Germanium

Ketika germanium ditambahkan dengan arsenik, galium atau unsur-unsur lainnya, ia digunakan sebagai transistor dalam banyak barang elektronik. Kegunaan umum germanium adalah sebagai bahan semikonduktor. Kegunaan lain unsur ini adalah sebagai bahan pencampur logam, sebagai fosfor di bola lampu pijar dan sebagai katalis.

Germanium dan germanium oksida tembus cahaya sinar infra merah dan digunakan dalam spekstroskopi infra merah dan barang-barang optik lainnya, termasuk pendeteksi infra merah yang sensitif. Index refraksi yang tinggi dan sifat dispersi oksidanya telah membuat germanium sangat berguna sebagai lensa kamera wide-angle dan microscope objectives. Bidang studi kimia organogermanium berkembang menjadi bidang yang penting. Beberapa senyawa germanium memiliki tingkat keracunan yang rendah untuk mamalia, tetapi memiliki keaktifan terhadap beberap jenis bakteria, sehingga membuat unsur ini sangat berguna sebagai agen kemoterapi.

Germanium anorganik mampu melindungi tubuh dari pertumbuhan tumor dan kanker ganas dengan jalan memperkuat sistem imun. Germanium dibutuhkan oleh tubuh, dalam satu hari minimal 1 mg. Seperti halnya selenium, germanium juga termasuk ke dalam golongan trace mineral.

Germanium organik melindungi diri dari akumulasi amyloid, suatu produk oksidatif radikal bebas (berdasarkan riset pada tikus). Kelebihan amyloid akan menyebabkan amyloidosis, yaitu suatu penyakit yang diakibatkan ketidakseimbangan dalam proses pemecahan protein yang menyebabkan terakumulasinya amyloid. Amyloidosis diketahui berhubungan dengan penyakit inflammatori kronis, kelainan sel plasma, deposisi amyloid di organ neuroendokrin, dan defisiensi kongenital enzim (terutama enzim yang berperan dalam penguraian prekursor amyloid). Selain itu, germanium organik juga melindungi sistein (suatu asam amino sulfhidril) dari oksidasi.

Wednesday, 27 July 2016

THERMOGRAVIMETRIC ANALYSIS (TGA)

THERMOGRAVIMETRIC ANALYSIS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Metode analisis termal yang paling sering digunakan adalah analisis termogavimetrik atau TGA . TGA adalah suatu teknik analitik untuk menentukan stabilitas termal suatu material dan fraksi komponen volatile dengan menghitung perubahan berat yang dihubungkan dengan perubahan temperatur. Kurva yang dihasilkan pada analisis termogavimetrik (TGA) adalah perubahan massa vs temperatur sebagai kurva TG. Kurva TG merupakan plot dari penurunan massa pada sumbu y dan peningkatan temperatur pada sumbu x. Terkadang kita juga dapat mengeplotkan waktu pada sumbu y. Kurva TG dapat membantu menyatakan tingkat kemurnian sampel yang dianalisa dan menentukan tranformasi dalam sampel dalam range temperatur spesifik.

TGA biasanya diaplikasikan pada beberapa riset untuk menentukan karakteristik material seperti polimer, untuk menentukan penurunan temperatur, kandungan material yang diserap, komponen anorganik dan organik dalam material, dekomposisi bahan yang volatile, dan residu bahan pelarut. TGA juga sering digunakan pada kinetika korosi pada oksidasi temperatur tinggi.

Pengukuran TGA dilakukan diudara pada atmosfer yang inert seperti helium atau argon dan berat yang dihasilkan merupakan fungsi dari kenaikan temperatur. Pengukuran jugaa dapat dilakukan pada atmosfer oksigen (1-5% O2 dalam N2 ata He) hal ini bertujuan untuk memperlambat reaksi oksidasi.

Analisis TGA pada umumnya memiliki high precission keseimbangan suatu tempat (platina) yang terisi dengan sampel. Tempat sampel diletakkan pada pemanas elektrik dalam termo couple untuk mengukur temperatur. Atmosfer murni dengan gas inert berfungsi untuk mencegah reaksi oksidasi atau reaksi lain yang tidak diinginkan. Komputer digunakan untuk mengontrol instrumen. Analisis TGA dilakukan dengan meningkatkan temperatur secara berangsur-angsur dan membuat plot antara berat dan temperatur. Biasanya sampel diuji pada suhu sampai 100 ᵒC atau lebih besar. Pada makalah ini kami mencoba membahas mengenai prinsip kerja TGA, prinsip dasar TGA, instrumen dan teknik TGA, preparasi sampel, interpretasi kurva TG serta berbagai aplikasi TGA pada beberapa sample yang telah dipublikasi dijurnal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang diajukan adalah :
1.2.1 Bagaimanakah prinsip dasar dari TGA?
1.2.2 Bagaimanakah prinsip kerja dan preparasi sampel pada TGA?
1.2.3 Bagaimanakah teknik dan instrumentasi TGA?
1.2.4 Bagaimanakah interpretasi kurva TG?
1.2.5 Bagaimanakah aplikasi TGA pada beberapa sample yang telah dipublikasi dijurnal?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka rumusan masalah yang diajukan adalah :
1.3.1 Untuk mengetahui prinsip dasar dari TGA.
1.3.2 Untuk mengetahui prinsip kerja dan preparasi sampel pada TGA.
1.3.3 Untuk mengetahui teknik dan instrumentasi TGA.
1.3.4 Untuk mengetahui interpretasi kurva TG.
1.3.5 Untuk mengetahui aplikasi TGA pada beberapa sample yang telah dipublikasi dijurnal.

BAB II

ISI

2.1 Prinsip Dasar TGA

Termogavimetrik merupakan salaah satu teknik analisis dimana senyawa dikondisikan dalam lingkungan panas dan dingin dengan laju yang terkontrol dengan hasil berupa grafik fungsi temperatur. Hasil kurva massa versus temperatur memberikan informasi mengenai stabilitas termal dan komposisi dari sampel. Kestabilitas termal dan komposisis beberapa senyawa dan komposisi sampel dan komposisi dari residu. Instrumen analitik yang digunakan yaitu termobalance dengan furnace yang dipogram untuk menghasilkan data temperatur dengan waktu.

Prinsip dasar analisis termogravimetrik adalah perubahan massa sampel yang diamati ketika sampel dikenakan pada Controlled temperature programe. Program temperatur seringkali digunakan pada peningkatan suhu, namun pengamatan isotermal dapat juga dilakukan ketika perubahan massa sampel dengan waktu diikuti. TGA memiliki sifat kuantitatif, dan oleh karena itu TGA merupakan teknik pengukuran secara termal yang sangat tepat, namun memberikan informasi kimia secara tidak langsung. Kemampuan analisis produk yang volatile selama penghilangan berat dalam jumlah yang besar. Untuk mendapatkan data dalam bentuk informasi grafis TGA biasanya di gabungkan pada beberapa detektor dan spektrofotometer seperti MS dan FTIR. Proses yang terjadi pada eksperimen dengan TGA yang menyebabkan pertambahan berat ataupun kehilangan berat dapat dilihat pada tabel 2.1

2.2 Prinsip Kerja dan Preparasi sampel TGA

Cara menggunakan Thermogravimetri analizer (TGA) bergantung pada jenis dan merk alat. Alat dengan merk yang berbeda memiliki bagian yang berbeda pula. Thermogravimetri analizer (TGA) dilengkapi dengan alat atau bagian yang berbeda-beda sehingga cara menggunakannya disesuaikan dengan jenis alat. Cara pemakaian TGA dapat dilakukan dengan material yang berupa serbuk dimasukkan ke dalam cawan kecil dari bahan platina, atau alumina ataupun teflon. Pemilihan bahan dari cawan ini perlu disesuaikan dengan bahan uji. Bahan uji harus dipastikan tidak bereaksi dengan bahan cawan serta tidak lengket ketika dipanaskan.

Gambar 2.1 Cawan dari alumina, platinum, silika dan platina (Anandhan, 2003)

Analisis TGA memerlukan bahan standar sebagai referensi dan penyeimbang dari timbangan mikro. Standar yang biasanya dipakai adalah alumina yang juga perlu dimasukkan dalam cawan. Alumina dan bahan uji kemudian dimasukkan ke dalam alat TGA. Dalam melakukan analisis dengan TGA yang perlu dilakukan dengan sangat hati-hati adalah ketika meletakkan cawan-cawan diatas papan timbangan karena lengan dari papan timbangan sangat mudah patah sehingga dalam menempatkan dan mengambil cawan perlu dilakukan dengan hati-hati.

Timbangan dalam keadaan nol dan wadah sampel dipanaskan menurut siklus panas yang telah ditentukan. Timbangan mengirimkan sinyal berat pada komputer sebagai penyimpan, berupa temperatur sampel dan waktu. Kurva plot dari sinyal TGA dikonversi ke perubahan persen berat pada sumbu Y terhadap temperatur material referensi pada sumbu X.

Analisis TGA banyak dilakukan pada atmosfer oksidatif (campuran udara atau oksigen dan gas inert) dengan temperatur linier. Misalnya pada karbon nanotube, penggunaannya dipilih temperaturmaksimum sehingga berat sampel stabil pada akhir eksperimen, yang mengindikasikan bahwa semua reaksi kimia telah selesai.

2.3 Teknik TGA

Analisis Termogravimetri (TGA) adalah salah satu teknik analisis termal yang dapat digunakan untuk menganalisis material anorganik, logam, polimer, plastik, keramik, gelas dan material komposit. Cuplikan dapat dianalisis dalam bentuk bubuk (powder) atau potongan kecil sehingga bagian dalam cuplikan dekat dengan suhu gas yang diukur. Instrumen TGA dapat dihubungkan dengan suatu spektrometer massa RGA untuk mengidentifikasi dan mengukur uap air yang dihasilkan. TGA mengukur jumlah perubahan massa suatu material sebagai fungsi kenaikan suhu atau secara eksotermis sebagai fungsi waktu pada atmosfer nitrogen, helium, udara, gas lain atau ruang hampa. Berat cuplikan mulai dari 1 sampai 150 mg. Berat cuplikan yang biasa digunakan adalah 25 mg, akan tetapi hasilnya akan sempurna ketika cuplikan yang digunakan 1 mg material. Range suhu yang digunakan pada analisis adalah 25°C sampai 1500°C.

Teknik penggunaan TGA ialah mengukur kecepatan rata-rata perubahan massa suatu bahan/cuplikan sebagai fungsi dari suhu atau waktu pada atmosfir yang terkontrol. Pengukuran digunakan khususnya untuk menentukan komposisi dari suatu bahan atau cuplikan dan memperkirakan stabilitas termal pada suhu diatas 1000oC. Metode ini dapat mengkarakterisasi suatu bahan atau cuplikan yang dilihat dari kehilangan massa atau terjadinya dekomposisi, oksidasi atau dehidrasi. Mekanisme perubahan massa pada TGA ialah bahan akan mengalami kehilangan maupun kanaikan massa. Proses kehilangan massa terjadi karena adanya proses dekomposi yaitu pemutusan ikatan kimia, evaporasi yaitu kehilangan atsiri pada peningkatan suhu, reduksi yaitu interaksi bahan dengan pereduksi, dan desorpsi. Sedangkan kenaikan massa disebabkan oleh proses oksidasi yaitu interaksi bahan dengan suasana pengoksidasi, dan absorpsi.

TGA menyediakan informasi karakterisasi bebas dan tambahan untuk teknik termal. TGA mengukur jumlah dan laju (kecepatan) perubahan massa sebuah sampel sebagai fungsi temperatur atau waktu dalam suasana yang dikendalikan. Pengukuran yang digunakan terutama untuk menentukan panas dan/atau kestabilan bahan oksidatif serta sifat komposisi mereka. Teknik ini dapat menganalisis bahan yang menunjukkan massa baik kekurangan atau kelebihan karena dekomposisi, oksidasi atau hilangnya bahan mudah menguap (seperti kelembaban). Hal ini terutama berguna untuk mempelajari bahan polimer, termasuk termoplastik, termoset, elastomer, komposit, film, serat, pelapis dan cat (Mufthi 2009).

2.4 Instrumentasi pada TGA

Instrumentasi yang digunakan pada analisa termogavimetri (TGA) dapat ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.2 Instrumen TGA (Anandhan, 2003)

Instrumen yang digunakan pada termogavimetri (TG) disebut termobalance. Termobalance terdiri dari beberapa komponen utama yang tersedia untuk menghasilkan data dalam bentuk kurva TGA. Komponen utama dari termobalance seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.3 Komponen UtamaTermobalance (Brown, 2001)

Berikut ini dijelaskan komponen utama dari termobalance yaitu:
2.4.1 Timbangan (Balance Control)
Timbangan yang digunakan pada instrumen TGA terbagi menjadi 2 jenis, yaitu timbangan vertikal dan timbangan horisontal, yaitu:
a. Instrumen timbangan vertical
Instrumen timbangan vertikal memiliki suatu tempat sampel yang bergantung pada timbangan yang diperlukan untuk mengkalibrasi instrumen dari efek buoyancy pada variasi densitas gas dengan temperatur, seperti variasi jenis gas. Instrumen timbangan vertikal biasanya tidak mempunyai tempat referensi dan tidak dapat digunakan untuk pengukuran DTA atau DSC dengan benar.
b. Instrumentasi timbangan horizontal
Instrumen timbangan vertikal memiliki dua tempat (sampel dan referensi) dan dapat digunakan untuk pegukuran DTA dan DSC. Instrumen ini bebas dariefek buoyancy, tetapi memerlukan kalibrasi untuk ekspansi perbedaan panas neraca timbangan.

Gambar 2.4 Balance Control (Anandhan, 2003)
2.4.2 Furnace
Furnace dan sistem kontrol harus didesain untuk menghasilkan pemanasan yang linear pada seluruh temperatur range pada furnace dan dibuat tetap pada temperatur tetap. Range temperatur pada TGA umumnya -150 oC hingga 2000 oC. Pada setiap instrumen memiliki range temperatur yang berbeda tergantung dari model instrumennya. Range temperatur dari furnace biasanya tergantung pada jenis pemanas yang digunakan.Umumnya kecepatan rata-rata pemanasan atau pendinginan pada furnace dapat dipilih antara 0-200 oC/menit. Insulasi dan pendinginan pada bagian luar furnace dibuat untuk menghindari oksidasi cuplikan. Berikut ini merupakan beberapa jenis furnice, yaitu:

Gambar 2.5 Jenis Furnice (Anandhan, 2003)
2.4.3 Pengukur dan kontrol Temperatur
Pengukur temperatur biasanya dilakukan menggunakan termokopel. Jenis trermokople yang digunakan pada temperatur diatas 1000 oC yaitu chromal-alumel sedangkan Pt/(Pt-10% Rh) digunakan untuk temperatur diatas 1750 oC. Temperatur mungkin dikontrol atau divariasikan menggunakan program kontroler dengan dua termokopel, signal dari menjalankan sistem kontrol meskipun termokopel yang kedua digunakan untuk merecord temperatur.

Gambar 2.6 Pengatur dan Kontrol Temperatur (Brown,2001)
2.4.4 Recorder
Rekorder X-Y biasanya digunakan untuk membuat plot antara berat dengan temperatur. Saat ini instrumen menggunakan microprosesor operasi kontrol dan data digital tambahan dan proses menggunakan komputer dengan perbedaan tipe rekorder dan plotter untuk menghasilkan data yang lebih baik. Pada gambar menunjukkan diagram skematis dari Balance dan Furnace untuk mengetahui kinerja dari termobalance. Dari diagram dapat dilihat bahwa keseluruhan sistem dari Balance dibungkus dengan glass untuk melindungi dari debu dan inert atmosfer. Terdapat kontrol mekanisme untuk mengatur aliran gas inert yang tersedia pada inert atmosfer dan air untuk mendinginkan furnace. Temperatur sensor furnace yang dihubungkan dengan pengontrol pemanasan. Balance output dan termocouple signal mungkin ditangkap recorder untuk mencatat kurva TG.

2.5 Kurva TG dan Interpretasi kurva TG

Kurva yang dihasilkan pada analisis termogavimetrik (TGA) adalah perubahan massa vs temperatur sebagai kurva TG yang ditunjukkan pada gambar 2.7. Kurva TG merupakan plot dari % penurunan massa pada sumbu y dan peningkatan temperatur pada sumbu x. Terkadang kita juga dapat mengeplotkan waktu pada sumbu y. Kurva TG dapat membantu menyatakan tingkat kemurnian sampel yang dianalisa dan menentukan tranformasi dalam sampel dalam range temperatur spesifik.


Gambar 2.7 Plot Kurva TG (Brown,2001)

Beberapa tipe kurva TGA dapat ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.8 Tipe Kurva TGA (Brown, 2001)

Adapun interpretasi kurva TG dapat digunakan sebagai teknik analisa kuantitatif dan kualitatif yang dapat dijelaskan seperti berikut:
2.5.1 Teknik Kuantitatif
Kurva TG komponen murni adalah karakteristik untuk setiap komponen tertentu. Penggunakan kurva kita dapat menghubungkan perubahan massa dengan stokiometri yang terlibat, sehingga kurva TG dapat digunakan sebagai teknik kuantitatif dimana komposisi kuantitatif sampel dapat diketahui. Sebagai ilustrasi interpretasi kurva TG, berikut ini akan dijelaskan kurva TG CaCO3 pada 800 ᵒC dan 900 ᵒC untuk membentuk oksida CaO yang stabil dan gas CO2. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut :
   CaCO3(s) → CaO(s) + CO2(g)
Mr 100.1          56.1       44

Gambar 2.9 Kurva TG dan DTG CaCO3 berbagai suhu pemanasan (Brown,2001)
Berdasarknan kurva TG menunjukan bahwa persen massa yang hilang pada sampel adalah 44 % (100.1-56.1) pada antara suhu 800 ᵒC dan 900 ᵒC. Hal ini sesuai untuk menghitung perubahan massa berdasarkan stokiometri dekomposisi CaCO3 melalui persamaan
m %= (Mr CO_2)/(Mr C〖aCO〗_3 ) ×100
    =(44×100)/100.1=44
2.5.2 Teknik Kualitatif
Kurva TG juga dapat digunakan sebagai analisis kualitatif dengan cara membandingkan stabilitas termal suatu material. Informasi yang dihasilkan oleh kurva TG dapat digunakan untuk memilih material yang cocok pada penggunaan akhir aplikasi, memprediksi performa produk dan meningkatkan kualitas produk. Berikut ini merupakan contoh intrerpretasi kurva TG yang diguanakan sebagai teknik analisis kualitatif pada berbagai sampel polimer.

Gambar 2.10 Kurva TG dari berbagai sampel polimer (Brydson, 1999)
Kurva TG diatas mengindikasikan bahwa polimer PVC memiliki kestabilan termal yang paling rendah dan PS memiliki kestabilan paling tinggi. Polimer PS tidak kehilangan berat dibawah suhu 500 ᵒC dan dekomposisi terjadi pada suhu 600 ᵒC. tiga polimer yang lain sudah terdekomposisi sekitar suhu 450 ᵒC. Polimer PMMA dekomposisinya lebih lambat, hal ini diindikasikan dari slop kurva TG. Kurva TG polimer PMMA memiliki slop yang lebih rendah dari sebelumnya.

BAB III

APLIKASI

Metode analisis termal yang paling sering digunakan adalah analisis termogavimetrik atau TGA. Hal ini disebabkan TGA dapat diaplikasikan untuk beberapa tujuan. Berikut ini akan dibahas mengenai berbagai aplikasi TGA dalam serta contoh aplikasi berdasarkan jurnal yang telah dilaporkan.

3.1 Aplikasi TGA Secara Umum
Berikut ini merupakan berbagai aplikasi dari analisis termogavimetrik atau TGA antara lain:
a. Menentukan temperatur dan perubahan berat reaksi dekomposisi, analisa komposisi kuantitatif, serta menentukan kandungan air;
b. Analisa reaksi dengan udara, oksigen, atau gas reaktif lainnya;
c. Dapat digunakan untuk mengukur laju evaporasi, seperti untuk mengukur emisi campuran cairan yang mudah menguap;
d. Menentukan temperatur curie dari transisi magnetis dengan mengukur temperatur dimana kekuatan yang digunakan oleh suatu magnet menghilang pada pemanasan atau muncul kembali pada pemdinginan;
e. Membantu mengidentifikasi plastik dan material organik dengan mengukur temperatur ikatan scissions didalam atmosfer inert atau oksidasi dalam udara atau oksigen;
f. Digunakan untuk mengukur berat fiberglass dan material anorganik dalam plastik, melaminasi, mengecat, primer, dan material composite dengan pembakaran resin polymer;
g. Dapat mengukur material yang ditambahkan ke beberapa makanan, seperti silika gel, dan titanium diaoksida;
h. Dapat menentukan kemurnian suatu material, senyawa anorganik, atau material organik.

3.2 Aplikasi TGA Berdasarkan Jurnal

Berikut ini merupakan berbagai aplikasi dari analisis termogavimetrik atau TGA yang telah dilaporkan dari beberapa jurnal antara lain:

a. Jurnal : Dekomposisi Termal Campuran Huntite dan Hydromagnesite (L.A. Holingbery, T.R. Hull, 2012)

- Sampel :
Huntite (Minelko Ltd), hydromagnesite (Carbomag TL), magnesium klorida, kalsium klorida dan campuran magnesium klorida dan kalsium klorida (Microcrab ST10H).
- Instrumen :
Pengukuran TGA dilakukan dengan menggunakan instrument instrument Q 5000 IR dengan laju pemanasan 10ᵒC/min.
- Hasil
Antara huntite dan hydromagnesite mengalami dekomposisi termal melalui penghilangan massa dan pelepasan air dan karbon dioksida. Gambar 3.1 menunjukan perbandingan dekomposisi termal dari huntite, hydromagnesite dan campuran antara huntite dan hydromagnesite yang telah tersedia (UltraCarb LH15).

Gambar 3.1 Kurva TGA dekomposisi termal dari huntite, hydromagnesite dan UltraCarb LH15 (Hollingbery, 2012)
Huntite mengalami dekomposisi secara termal melalui dua tahap. Tahap pertama terjadi pada suhu sekitar 400 ᵒC dan 630 ᵒC dengan jumlah massa yang hilang sekitar 38%, dan tahap kedua terjadi sekitar 630 ᵒCdan 750 ᵒC dengan kehilangan massa sekitar 12% sehingga massa total yang hilang sekitar 50%.
Mg3Ca(CO3)4 → 3MgO + CaO + 4CO2
Huntite memiliki massa molekular total 353 g/mol. Oleh karena itu, mineral karbonat ini yang mungkin mengalami dekomposisi termal dengan melepaskan karbon dioksida yang memiliki massa molekular 44 g/mol, sehingga perhitungan stokiometrinya:
Massa yang hilang pada suhu 400 ᵒC dan 630 ᵒC :
38/100×353=134.14 g/mol
Yang hilang molekul CO2, maka :
134.14/44≈3
Jadi, pada suhu 400 ᵒC dan 630 ᵒC terjadi pelepasan sekitar 3 molekul CO2.
Massa yang hilang pada suhu 630 ᵒC dan 750 ᵒC :
12/100×353=42.36 g/mol
Yang hilang molekul CO2, maka :
42.36/44≈1
Jadi, pada suhu 400 ᵒC dan 630 ᵒC terjadi pelepasan sekitar 1 molekul CO2.

Dekomposisi hydromagnesite lebih rumit dibandingkan dengan huntite. Ada massa yang hilang sekitar 15% pada suhu sekitar 350 ᵒC dan selanjutnya hilang 41% pada suhu sekitar 700 ᵒC dimana massa molekular hydromagnesite 467.5 g/mol.
Mg3Ca(CO3)4(OH)2.4H2O → 5MgO + 4CO2 + 5H2O
Hasil TGA menunjukkan bahwa tejadi pelepasan empat molekul air (dari air kristal). Selanjutnya, terjadi dekomposisi molekul air dari ion hidroksida dan pelepasan molekul karbon dioksida.
Massa yang hilang pada suhu 350 ᵒC :
15/100×467.5=70.125 g/mol
Yang hilang molekul H2O, maka :
70.125/18≈4
Jadi, pada suhu 350 ᵒC terjadi pelepasan sekitar 4 molekul CO2.
Massa yang hilang pada suhu 700 ᵒC :
41/100×467.5=191.675 g/mol
Dengan asumsi 1 molekul hilang H2O, maka :
18/467.5=0.0385 ≈3.85%
Jadi, pada suhu 700 ᵒC terjadi pelepasan sekitar 1 molekul H2O dengan massa hydromagnisite yang hilang sekitar 3.85% dan 4 molekul hilang CO2, maka :
176/467.5=0.376 ≈37.6%
Jadi, pada suhu 700 ᵒC terjadi pelepasan sekitar 1 molekul H2O dengan massa hydromagnisite yang hilang sekitar 3.85% .

Peneliti juga melakukan pebandingan antara sampel Humatite dan Hydromagnesite dengan magnesium karbonat dan kalsium karbonat menggunakan TGA untuk melihat dekomposisi Magnesium dan kalsium karbonat pada humatite dan hydromagnesite. Pengamatan dekomposisi humatite dilakukan dengan membandingkan dengan magnesium karbonat, kalsium karbonat dan magnesium karbonat-kalsium karbonat 3:1.

Gambar 3.2 Kurva TGA dekomposisi termal dari huntite, magnesium klorida, kalsium klorida dan magnesiumklorida-kalsium klorida 3:1 (Hollingbery, 2012)

Humatite mengalami dekomposisi secara termal melalui 2 tahap. Pada tahap pertama dekomposisi terjadi pada suhu antara 400 dan 630 ᵒC. Dekomposisi yang terjadi adalah ion carbonat yang berikatan dengan atom magnesium, pelepasan karbon dioksida dan meninggalkan magnesium oksida kalsium karbonat sebagai residu.
Mg3Ca(CO3)4 → 3MgO . CaCO3 + 4CO2

Kalsium karbonat tidak membentuk struktur kristal seperti kalsium karbonat alami karena kalsium karbonat terdekomposisi pada temperatur rendah. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya magnesium oksida dengan kalsium karbonat dalam satu struktur. Pada tahap kedua dekomposisi terjadi pada suhu antara 630 dan 750 ᵒC, terjadi dekomposisi ion karbonat sisa yang berikatan dengan atom kalsium, pelepasan karbon dioksida dan meninggalkan karbon dioksida dan meninggalkan residu campuran magnesium oksida dan kalsium oksida.
Mg3Ca(CO3)4 → 3MgO . CaO + CO2

Pada dekomposisi hydromagnesite yang terlihat pada gambar 3.3 tidak sepenuhnya terjadi dekomposisi melalui tiga tahap. Tetapi yang terlihat digambar 1 bahwa pada suhu 350 ᵒC terjadi kehilangan 15% massa, selanjutnya kehilangan massa sebesar 41% terjadi pada suhu 700 ᵒC, sehingga total 56% massa yang hilang dari proses dekomposisi ini.


Gambar 3.3 Kurva TGA dekomposisi termal dari hydromagnetite, magnesium klorida, kalsium klorida dan magnesiumklorida-kalsium klorida 4:1 (Hollingbery, 2012)

Massa yang hilang berhubungan dengan dekomposisi ion hidroksida yang mungkin terjadi pada suhu sekitar 330 ᵒC dan 430 ᵒC tetapi didukung dengan hilangan massa yang cukup besar yang berhubungan dekomposisi ion karbonat. Rentang temperatur ini juga dekat dengan rentang temperatur dimana terjadi dekomposisi magnesium hidroksida.

b. Jurnal : Synthesis and Hydrogen Storage Behavior of Metal Organic Framework MOF-5 (Li, 2009)

- Sampel :
Sampel yang digunakan pada karakterisasi TGA ini adalah material berpori MOF-5 yang disintesis dengan metode yang berbeda-beda yaitu Direct Mixing of TEA (Difusi cepat TEA), Slow Diffusion of TEA (Difusi lambat TEA), serta Solvotermal. Pada prinsipnya MOF-5 disintesis dengan menggunakan Zn(NO3)2. 6H2O sebagai sumber logam, Benzen Dikarboksilat Acid (H2BDC) sebagai ligan organik, dan pelarut yang digunakan adalah DMF (Dimetil Formamide) dan membentuk kerangka (framework). Adapun struktur dari MOF-5 adalah sebagai berikut:


Gambar 3.4 : (a) bangunan unit di dalam kristal MOF-5 dimana atom karbon karboksilat ada pada posisi geometri oktahedral (b) MOF-5 dalam bentuk kubus primitif (c) MOF-5 dalam bentuk karbon berpori secara 3D (Eddaoudi, 2001)

- Instrumen :
Pengukuran TGA dilakukan dengan menggunakan instrumen Netzsch STA409C dengan kecepatan pemanasan 10 K/menit.

- Hasil
Kurva TGA pada sampel MOF-5 yang disintesis dengan menggunakan metode yang berbeda ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.5 : Kurva TGA MOF-5 yang disintesis dengan metode yang berbeda (Li, 2009)

Gambar 3.5 menunjukkan bahwa kurva TGA MOF-5 dengan metode yang berbeda menunjukkan bentuk yang mirip. Sampel MOF-5 baik yang disintesis dengan metode Direct Mixing of TEA (Difusi cepat TEA), Slow Diffusion of TEA (Difusi lambat TEA), maupun Solvotermal mengalami perubahan % berat pada suhu antara 300 sampai 523 K. Hal ini menunjukkan pelarut DMF yang ada pada framework mulai terhapus pada suhu 300 K dan akan komplit terhapus pada suhu 523 K. Pada suhu diatas 523 K semua kurva TGA menunjukka % berat yang relatif konstan, yang artinya struktur MOF-5 stabil.

Namun % berat kembali menurun secara drastis yang menunjukkan bahwa struktur MOF-5 kembali tidak stabil karena kerangkanya (framework) mulai mengalami kerusakan (collapse). Saat collapse terjadi perbedaan suhu antara sampel MOF-5 yang disintesis dengan metode difusi TEA (baik cepat atau lambat) dengan solvotermal. Sampel MOF-5 yang disintesi dengan metode difusi TEA mengalami collapse pada suhu 673 K sedangkan solvotermal collapse baru terjadi pada suhu 773 K. Hal ini menunjukkan bahwa MOF-5 yang disintesis dengan metode solvotermal memiliki kestabilan termal yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan MOF-5 yang disintesis dengan metode Direct Mixing of TEA (Difusi cepat TEA) dan Slow Diffusion of TEA (Difusi lambat TEA).

c. Jurnal : Thermal Properties of Nanoporous Carbon Prepared by A Template Method Using Different Polymeric and Organic Precursor (Sobiesiak, 2012)

- Sampel :
Sampel yang digunakan pada karakterisasi TGA ini adalah karbon nanopori yang disintesis dengan metode hard template dengan polimer dan precursor organik. Adapun variasi yang dilakukan antara lain:

Keterangan:
Furfuril Alkohol (FA); 4,4’-bismaleimidediphenyl methane (BM); 4,4’-bismaleimidediphenyl methane (BM) ditambah kopolimer Divinil Benzene (BM-DVB); silika gel dengan ukuran yang berbeda, yaitu SG (ukuran butir 0,063 – 0,2 mm) dan ZK (ukuran butir 2 – 7 mm); Sulfosalicylic Acid (c1) dan Phosphoric Acid (P1.5)

- Instrumen :
Pengukuran TGA dilakukan dengan menggunakan instrumen Netzsch derivatograph STA 449 F1 Jupiter (Netzsch, Germany) pada range 40–1000 oC dengan kecepatan pemanasan 10oC/menit. Pengukuran dilakukan dengan wadah Al2O3 dibawah atmosfer helium dan udara.

- Hasil
Kurva TGA pada sampel karbon nanopori yang disintesis dengan polimer serta precursor organik yang berbeda dan diukur dibawah atmosfer helium ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.6 : Kurva TGA Karbon nanopori yang diukur dibawah atmosfer helium (Sobiesiak, 2012)

Gambar 3.6 menunjukkan bahwa kurva TGA karbon nanopori yang diukur dibawah atmosfer helium terlihat landai dan tidak menurun secara drastis dan penurunan % berat terjadi secara lambat. Hal ini disebabkan dekomposisi karon nanopori terjadi tanpa oksidasi. Setelah suhu mencapai 1000oC (setelah pengukuran selesai) residu yang diperoleh juga tinggi, yaitu berkisar 73 – 83%. Pada sampel P1, dekomposisi terjadi lebih cepat dibandingkan dengan sampel lain terutama pada suhu 225 - 450oC. Setelah suhu 450oC, dekomposisi sampel P1 terjadi secara lambat kembali. Kurva TGA sampel P2 menunjukkan bahwa destruksitermal terjadi secara intensif pada suhu 800-900oC. Adapun sampel P3-P6 menunjukkan dekomposisi yang hambir sama yaitu penurunan % berat terjadi secara lambat. Hal ini dapat ditunjukkan pada kurva TGA sampel P3-P6 yang bentuk kurvanya mirip. Sehingga dapat ditarik simpulan bahwa sampel P2 memiliki kestabilan termal terbaik.

Kurva TGA pada sampel karbon nanopori yang disintesis dengan polimer serta precursor organik yang berbeda dan diukur dibawah atmosfer udara ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.7 : Kurva TGA Karbon nanopori yang diukur dibawah atmosfer udara (Sobiesiak, 2012)

Gambar 3.7 menunjukkan bahwa kurva TGA karbon nanopori yang diukur dibawah atmosfer udara terlihat turun secara drastis dan penurunan % berat terjadi secara cepat. Hal ini disebabkan dekomposisi karon nanopori terjadi dengan oksidasi. Kurva TGA menunjukkan bahwa destruksi termal terjadi pada range 150-250oC bergantung pada tipe prekursor dan temperatur karbonisasinya. Pada sampel karbon nanopori dengan kode P1, P3-P6 dekomposisi mula-mula terjadi pada suhu 150-175oC dan hampir selesai (komplit) pada suhu 500oC. Sedangkan sampel karbon nanopori dengan kode P2 memiliki kurva TGA yang sedikit berbeda, yaitu dekomposisi mula-mula terjadi pada suhu 250oC dan hampir selesai (komplit) pada suhu 550oC. Hal ini menunjukkan bahwa sampel P2 memiliki kestabilan termal terbaik.

d. Rapid Synthesis of Zeolitic Imidazolate Framework-8 (ZIF-8) Nanocrystals In An Aqueous System (Pan, 2011)

- Sampel :
ZIF-8 nanokristal yang disintesis dalam larutan encer. Larutan tersebut terdiri dari Zn(NO3)2.6H2O, 2-metil imidazol, dan air deionized (DI) dengan rasio molar Zn2+ : 2-metil imidazol : H2O = 1:70:1238. Sintesis dilakukan pada temperatur ruang (22±2 oC) dan secara khusus hanya dilakukan dalam beberapa menit. Adapun struktur dari ZIF-8 adalah sebagai berikut:

Gambar 3.8 Struktur dari ZIF-8 nanokristal (Pan, 2011)

- Instrumen :
Sampel diukur menggunakan thermal gravimetric analysis (TGA) dilakukan dibawah aliran helium.

- Hasil
Kurva TGA dari sampel setelah sintesis ZIF-8 nanokristal dalam larutan encer dapat ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.9 Kurva TGA dari sampel ZIF-8 setelah disintesis (Pan, 2011)

Gambar 3.9 menunjukkan analisis gravimetri termal (TGA) dari sampel setelah disintesis yang dilakukan di bawah aliran helium. Kurva TGA mirip dengan yang telah dilaporkan sebelumnya yaitu kristal ZIF-8 berukuran mikrometer yang dilakukan dalam aliran nitrogen. Gambar menunjukkan sampel berangsur-angsur mengalami penurunan yaitu sebesar 11,8% pada temperatur 200 oC, sesuai dengan penghilangan molekul pelarut terutama air dari rongga atau spesies yang tidak bereaksi misalnya 2-metil imidazol dari permukaan nanokristal. Sebuah dataran tinggi yang panjang ditunjukkan pada kisaran suhu 200-500 oC yang menunjukkan bahwa sampel mempunyai stabilitas termal yang tinggi.

e. Synthesis of Biodiesel From Vegetable Oil with Methanol Catalyzed by Li-Doped Magnesium Oxide Catalysts (Wen, 2010)

- Sampel :
Sampel yang digunakan adalah katalis Li dengan doping Magnesium Oxide

- Instrumen :
Pengukuran TGA dilakukan dengan menggunakan instrument SDT Q600 dengan kecepatan pemanasan 10oC/menit pada atmosfer nitrogen.

- Hasil :
Kurva TGA dari sampel katalis Li dengan doping Magnesium Oxide ditunjukan pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.10 Kurva TGA katalis Li dengan doping Magnesium Oxide (Wen, 2010)

Ada tiga tipe pengurangan berat pada suhu 298-373 K, 543-573 K, dan 763-883K. Pengurangan berat pertama (298-373 K) adalah penghilangan adsorpsi fisik air. Pengurangan berat kedua (543-573 K) adalah dekomposisi Mg(OH)2. Pada suhu mulai 763 K LiNO3 mulai terdekomposisi dan struktur kembali menjadi MgO. Berat tetap konstan pada suhu diatas 883 K. Suhu kalsinasi tinggi baik untuk interaksi kuat antara ion Li dan MgO, dengan demikian untuk meningkatkan konversi biodiesel dengan meningkatkan suhu dari 823 K ke 773 K. Di sisi lain luas permukaan menurun menurun secara signifikann dengan meningkatnya suhu kalsinasi, kecuali pada suhu range antara 873 K hingga 973 K. Ini tidak baik untuk sintesis biodiesel. Dua pertentangan pengaruh tersebut menunjukkan suhu rata-rata dekomposisi LiNO3 823 K, ini adalah suhu optimum untuk katalis Li dopping MgO.

f. Production of Biodiesel by Esterification of Natural Fatty Acids Over Modified Organoclay Catalysts (Ghiaci, 2011)

- Sampel :
Biodisel dari asam lemak alami yang dimodivikasi dengan bentonit, dimana 3A = The acidic ionic liquids used were 3-hexadecyl-6-sulfo-1-(4-sulfobenzyl)-1H-benzimidazolium hydrogensulfate, 3B = 3,30-(butane-1,6-diyl)bis(6-sulfo-1-(4-sulfobenzyl)-1H-benzimidazolium) hydrogensulfate, dan 4B =3,30-(hexane-1,6-diyl) bis(6-sulfo-1-(4-sulfobenzyl)-1H-benzimidazolium) hydrogensulfate.

- Instrumen :
Analisis termogravimetri (TGA) dilakukan dengan menggunakan Instrument Bahr STA 503 model agilent GC 6890N, dengan laju pemanasan 100 C / menit. Pada setiap analisis dilengkapi dengan HP-50 + kolom kapiler (60 m, 0,25 mm, 0,25 lm) dan detektor FID.

- Hasil
Kurva TGA dari sampel biodisel yang telah dimodivikasi dengan bentonit ditunjukan pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.11 Kurva TGA biodisel yang dimodifikasi bentonit (Ghiaci, 2011)

Stabilitas termal dari sampel cairan ionik dapat diketahui dari hasil thermograms TGA. Dari hasil TGA dapat disimpulkan bahwa semua cairan ionik menunjukkan stabilitas termal yang baik hingga temperature mencapai 2000 C, meskipun dicationic ionik cairan 3B dan 4B secara signifikan lebih stabil daripada monocationic ionik 3A cair.

g. Thermal, Rheological, Mechanical and Morphological Behavior of HDPE/Chitosan Blend (Mir, 2011)

- Sampel :
Polimer komposit HDPE/Kitosan. Di mana variasi rasio HDPE/kitosan masing-masing 100/0, 85/15, 75/25, 70/30 dan 65/35.

- Instrumen :
Pengukuran TGA dilakukan dengan menggunakan instrument Mettler Toledo (TGA/DSC star system) dengan kecepatan pemanasan 10◦C/min, dan dibawah aliran nitrogen dengan kecepatan 50mL/min.

- Hasil
Kurva TGA dari sampel polimer komposit HDPE/Kitosan ditunjukan pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.12 Kurva TGA polimer komposit HDPE/Kitosan (Mir, 2011)

Dari gambar tersebut dapat diketahui sifat termal dari polimer komposit HDPE/Kitosan. Polimer HDPE (sampel a) dan ikat silang HDPE dengan silan (sampel b) menunjukkan degradasi tunggal pada kisaran 420-500 °C di mana terjadi dekomposisi matriks PE. Sampel b memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi dari pada sampel a karena proses ikat silang dengan silan menambah kestabilan termal. Sedangkan untuk paduan HDPE/kitosan yang tidak diikat silangkan (sampel c) menunjukkan adanya dua tahap degradasi. Tahap pertama berkisar antara 260-420 °C yang disebabkan karena terjadinya degradasi termal dari kitosan. Pada tahap ini, degradasi kitosan yang terjadi melibatkan reaksi dehidrasi, pemotongan cincin dan reaksi dekomposisi. Tahap kedua berkisar antara 420-500 °C yang disebabkan karena terjadi dekomposisi matriks PE seperti yang teramati pada sampel a dan b. Ikat silang pada paduan HDPE/kitosan (sampel d) menunjukkan tiga tahapan dalam termogram. Tahap pertama yang berkisar antara 90°C sampai 160°C akibat adanya penguapan air oleh kompositnya. Tahapan kedua dan ketiga sama dengan proses degradasi termal pada sampel c.

h. Physicochemical Characterization Of Co3O4 Prepared by Thermal Decomposition: Phase Composition and Morphology (Garavaglia, 1983)

- Sampel :
Co(NO¬3)2∙6H2O dan CoCl2∙6H2O

- Hasil : Kurva TGA Precursor Kobalt Nitrat dan Kobalt Klorida dapat ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.13 Kurva TGA Kobalt Nitrat dan Kobalt Klorida (Garavaglia, 1983)

Gambar 3.13 menunjukkan Dekomposisi nitrat pada Co(NO¬3)2∙6H2O ditunjukkan oleh kurva A sedangkan Dekomposisi nitrat pada CoCl2∙6H2O ditunjukkan oleh kurva B. Kurva A menunjukkan bahwa, pada suhu kamar adanya hidrasi molekul air ditunjukkan oleh komposisi heksahidrat. Hidrasi molekul air hilang pada temperature antara 40-200°C, akan tetapi pada waktu pemanasan yang pendek mungkin masih terdapat molekul air pada suhu diatas 200°C. Pemanasan pada waktu yang cukup Co3O4 mulai terbentuk pada suhu 150°C. Padatan Co3O4 satu-satunya produk yang terbentuk pada saat suhu 250-700°C, walaupun digunakan waktu yang paling pendek yaitu 1 jam.

Kurva B menunjukkan bahwa, pada suhu 40-80°C terjadi kehilangan berat yang sangat kecil. Hal ini menunjukkan hilangnya molekul air yang terserap secara fisik (physisorp). Pada saat suhu 130°C molekul air yang terikat secara kimia sedikit demi sedikit akan hilang sehingga komposisi yang terbentuk adalah CoCl2∙2H2O. Step by step pada saat suhu 160°C akan terbentuk CoCl2∙H2O. Molekul air yang terakhir hilang sangat lambat pada interval suhu 60°C untuk membentuk CoCl2 yang akan stabil pada kenaikan suhu diatas 200°C. Ketika suhu 400°C penurunan berat terus meningkat dan akan konstan ketika suhu 700°C. Pada suhu 820°C reaksi dekomposisi telah menyeluruh membentuk Co3O4 dan tidak ada variasi komposisi ketika suhu 900°C.

i. Memprediksi Waktu Hidup Berdasarkan Informasi TGA Dekomposisi

Informasi TGA dekomposisi dapat dipakai untuk memprediksi waktu hidup (lifetimes) produk dari beberapa material polimer, seperti pelapisan untuk keadaan elektrik atau kabel telekomunikasi. Sampel dipanaskan pada tiga atau lebih perbedaan pemanasan. Pemakaian perbedaan pemanasan merubah skala waktu pada saat proses dekomposisi. Jika kecepatan pemanasan diperlakukan lebih cepat, maka temperatur dekomposisi akan menjadi lebih tinggi. Pendekatan ini membuktikan sebuah hubungan antara waktu dan temperatur untuk dekomposisi polimer dan informasi ini dapat dipakai untuk memodelkan kinetik dekomposisi. Hal ini dapat ditunjukkan melelui kurva TGA dibawah ini:

Gambar 3.14 Pengaruh panas pada dekomposisi termal dari polietilena


Gambar 3.15 Kurva Isokonversi untuk Degradasi Termal Polietilena Berdasarkan pada Pemodelan Kinetik

Gambar 3.14 menunjukkan hasil TGA yang diperoleh dari sampel polietilena pada bentangan kecepatan pemanasan dari 1—40 °C/min. Sepanjang kecepatan pemanasan ditingkatkan, permulaan dekomposisi berubah ke temperatur yang tinggi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan software Kinetik Dekomposisi TGA PerkinElmer. Analisis kinetik disajikan oleh informasi prediksi yang bernilai dari software pada material polimer, termasuk estimasi waktu hidup (lifetime). Ditunjukkan dalam Gambar 3.15 Kurva Isokonversi, yang menghadirkan waktu untuk mencapai sebuah tingkatan khusus konversi sebagai sebuah fungsi temperatur. Terutama yang digunakan untuk penilaian waktu hidup produk. Jika menginginkan bahwa tingkat kritik konversi bisa diketahui, maka waktu untuk mencapai tingkat kritik ini direncanakan secara khusus (particular) atau akhir penggunaan temperature dapat diprediksi.

BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
4.1 Prinsip dasar analisis termogravimetrik adalah perubahan massa sampel yang diamati ketika sampel dikenakan pada Controlled temperature programe.
4.2 Cara pemakaian TGA dapat dilakukan dengan material yang berupa serbuk dimasukkan ke dalam cawan kecil dari bahan platina, atau alumina ataupun teflon.
4.3 Teknik penggunaan TGA ialah mengukur kecepatan rata-rata perubahan massa suatu bahan/cuplikan sebagai fungsi dari suhu atau waktu pada atmosfir yang terkontrol. Adapun instrumen yang digunakan pada termogavimetri (TG) disebut termobalance.
4.4 Kurva TG merupakan plot dari % penurunan massa pada sumbu y dan peningkatan temperatur pada sumbu x. Terkadang kita juga dapat mengeplotkan waktu pada sumbu y.
4.5 Pengukuran TGA digunakan khususnya untuk menentukan komposisi dari suatu bahan atau cuplikan dan memperkirakan stabilitas termal pada suhu diatas 1000oC. Metode ini dapat mengkarakterisasi suatu bahan atau cuplikan yang dilihat dari kehilangan massa atau terjadinya dekomposisi, oksidasi atau dehidrasi.

Daftar Pustaka

Anandhan, 2003. Thermal Analysis. Dept. of Met. and Mat. Engg., NITK
Brydson, J A. 1999. Plastics Materials. Butterworth-Heinemann: 7th Ed
Brown, M.E. 2001. Introduction to Thermal Analysis. London: Kluwer Academic Publisher
Garavaglia R., C. M. Mari and S. Trasatti. 1983. Physicochemical Characterization of Co3O4 Prepared by Thermal Decomposition: Phase Composition and Morphology. Surface Technology (19): 197 – 215
Ghiaci M., B. Aghabarari and A. Gil. Production of Biodiesel by Esterification of Natural Fatty Acids Over Modified Organoclay Catalysts. Fuel (90): 3382–3389
Hollingberya, LA and T.R. Hullb. 2012. The Thermal Decomposition of Natural Mixtures of Huntite and Hydromagnesite. Thermochimica Acta (528): 45 – 52
Li, Jinping. et. al. 2009. Synthesis and Hydrogen-Storage Behavior of Metal–Organic Framework MOF-5. International Journal of Hydrogen Energy (34): 1377–1382
Mir, Sadullah. et. al. 2011. Thermal, Rheological, Mechanical and Morphological Behavior of HDPE/Chitosan Blend. Carbohydrate Polymers (83): 414–42
Pan, Yichang. et. al. 2011. Rapid Synthesis of Zeolitic Imidazolate Framework-8 (ZIF-8) Nanocrystals in an Aqueous System. Journal Royal Society of Chemistry (47): 2071–2073
Sobiesiak, Magdalena. 2012. Thermal Properties of Nanoporous Carbons Prepared by a Template Method Using Different Polymeric and Organic Precursors. New Carbon Materials 27(5): 337–343
Wen, Zhenzhong. et. al. 2010. Synthesis of Biodiesel from Vegetable Oil with Methanol Catalyzed by Li-Doped Magnesium Oxide Catalysts. Applied Energy (87): 743–748

Tuesday, 26 July 2016

Materi Korosi

1. Korosi

Korosi merupakan proses degradasi mutu/kualiatas suatu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Korosi adalah lawan/kebalikan dari proses pengolahan bijih logam. Proses korosi terjadi karena logam–logam tersebut secara termodinamik lebih stabil berada dalam kondisi teroksidasi (terkorosi) daripada kondisi tereduksi (Trethwey, 1991). Korosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: kelembaban udara, elektrolit, zat terlarut pembentuk asam, oksigen, dan jenis logam. Misalnya saja baja, ketika berada dalam lingkungan industri, akan bereaksi membentuk kerak berwarna coklat yang komposisinya mendekati Fe2O3.H2O, dimana produk ini tidak dapat melindungi logam dari lingkungan sekitarnya. Reaksi ini berlangsung dengan kecepatan linier sampai keseluruhan dari logam terkonsumsi (Shreir, 1994).

Korosi merupakan suatu proses elektrokimia sehingga proses terjadinya korosi memerlukan beberapa syarat, diantaranya adanya anoda, katoda, elektrolit/media, dan rangkaian listrik. Anoda dan katoda terdapat pada daerah-daerah permukaan logam yang terkorosi. Anoda merupakan daerah yang teroksidasi dengan melepaskan elektron dari atom logam netral dan menjadi ion logam yang membentuk produk korosi (bentuk teroksidasi) yang tidak dapat larut. Sedangkan daerah katoda merupakan daerah yang tereduksi dengan menangkap elektron dari logam tersebut.

Reaksi-reaksi yang terjadi pada anoda dan katoda sebagai berikut:

Dari reaksi anoda dan katoda di atas, dapat diketahui bahwa korosi yang terjadi merupakan akibat dari reaksi redoks (Trethwey, 1991).


Gambar 1. Proses elektrokimia pada korosi baja (pH>7)

Gambar di atas menjelaskan mengenai proses elektrokimia pada korosi baja dalam suasana basa (pH>7). Reaksi pada anoda dapat menghalangi pelarutan logam lebih lanjut (lapisan pasifasi) dimana reaksi korosi berhenti. Sementara pada katoda biasanya tidak mengalami korosi, namun terdapat kemungkinan adanya kerusakan dalam kondisi tertentu. Apabila pada suasana asam (pH<7), elektrolit yang digunakan adalah larutan asam dan reaksi yang terjadi pada katoda akan mengubah ion H+ menjadi H2. Reaksi pada anoda, baik dalam suasana asam maupun basa, adalah sama dimana akan mengubah atom-atom logam netral menjadi ion-ionnya. Hal ini yang mengakibatkan massa logam berkurang.

2. Termodinamika Korosi

Fenomena korosi dapat diketahui melalui termodinamikanya, yakni dengan cara melihat apakah suatu logam dapat mengalami korosi atau tidak dengan melihat perubahan nilai energi bebasnya (∆Go). Logam-logam yang memiliki ∆Go positif lebih sulit terkorosi daripada logam dengan nilai ∆Go negatif. Korosi pada logam-logam tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu yang dapat dilihat dari persamaan 2.1
∆G = ∆Go + RT ln K       (2.1)
dimana, T = 298 K,   R = 8,3143 Jmol-1K-1,   dan K merupakan tetapan kesetimbangan.
Apabila nilai ∆G dihubungkan dengan potensial listrik dengan persamaan Faraday, maka diperoleh persamaan 2.2.
∆G = -n.F.E       (2.2)
dimana, n adalah jumlah elektron yang dipindahkan, E adalah potensial terukur (volt), dan F adalah besarnya muatan yang dipindahkan oleh satu mol elektron dengan nilai 96494 (C.mol-1). Nilai negatif menunjukkan muatan dari elektron (Trethwey, 1991).

Termodinamika dari material padat, reaksi-reaksi kimia dan elektrokimia dari logam, dengan lingkungannya dalam larutan berair dapat digambarkan dengan menggunakan diagram pourbaix. Diagram ini menunjukkan daerah pasif dan daerah kebal dalam hubungan potensial-pH sistem pada suhu dan tekanan tertentu. Gambar 2.2 merupakan diagram Pourbaix untuk besi. Diagram ini berguna untuk mempelajari spesies besi dalam air karena total konsentrasi besi adalah rendah dan cenderung terdisosiasi. Reaksi setengah selnya :
Fe3+(aq) + e- → Fe2+(aq) E0 = +0,77 V

Apabila pengaruh pH tidak diperhitungkan (potensial tetap), akan digambarkan dengan garis horizontal dimana dalam gambar 2.2 akan memisahkan antara Fe2+ dan Fe3+. Fe(OH)3(s) akan terbentuk dari Fe3+ dimana pembentukannya bergantung pada pH, dengan Fe3+(aq) berada pada pH rendah dan Fe(OH)3 berada pada pH tinggi. Sementara itu, jika Fe(OH)3(s) bereaksi dengan ion H+ akan menyebabkan adanya pembentukan ion Fe2+ sehingga potensialnya dapat dihitung melalui persamaan berikut:
Ε=Ε^0-(0,059 V) log⁡〖[Fe^(2+)]/[H^+]〗     (2.3)
Persamaan 2.3 menunjukkan bahwa potensial turun secara linear dengan meningkatnya pH, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2. Daerah potensial dan pH yang berada di atas garis menunjukkan kondisi dimana spesies teroksidasi, Fe(OH)3, adalah stabil. Agen pengoksidasi diperlukan untuk mengoksidasi dan mengendapkan ion Fe2+ dalam media asam daripada dalam media basa.


Gambar 2.2 Diagram pourbaix unsur besi dalam air (Honeycombe, 1995).

Reaksi yang terjadi secara keseluruhan dapat dituliskan sebagai berikut:

(Talbot, 1998).

3. Kinetika Korosi

Kinetika korosi selalu berhubungan dengan laju atau kecepatan korosi pada suatu logam atau paduan. Laju korosi dari tiap-tiap logam tidak sama, tergantung pada sifat bahan dan lingkungannya. Untuk menentukan laju korosi suatu logam diperlukan parameter pengukuran, seperti densitas arus korosi (i), dimana densitas arus korosi merupakan arus (I) persatuan luas (A).

Menurut hukum Faraday :
m=(I.t.a)/nF     (2.4)
dimana m adalah massa logam yang teroksidasi, I adalah arus yang digunakan, t waktu yang diperlukan, a berat molekul, n jumlah elektron yang terlibat, dan F adalah bilangan Faraday.
Adanya aliran elektron pada permukaan logam menghasilkan laju korosi (r) sebesar :
r=m/(t.A)=(i.a)/nF     (2.5)
sehingga, laju korosi logam dengan adanya densitas (D) dapat dituliskan menjadi :
r=(0,129 a.i)/nD     (2.6)
dimana D dalam g/cm3 dan 0,129 adalah tetapan proporsional (Jones, 1996).

4. Metode Pengukuran Laju Korosi

Polarisasi

Polarisasi merupakan selisih antara potensial logam dan potensial korosi bebas dalam kesetimbangan larutan. Polarisasi disebut juga sebagai overvoltage dinotasikan dengan (η). Polarisasi merupakan parameter penting dalam pengukuran laju korosi. Persamaan laju korosi (v):
v = A exp [-∆G/RT] [reaktan]     (2.7)
dengan A = tetapan

Pada keadaan setimbang, laju reaksi anoda (ia) sama dengan laju reaksi katoda (ic). Konsentrasi reaktan sebagai tetapan dapat digabungkan menjadi suatu tetapan baru yaitu Ao. Pada laju reaksi anoda, energi bebas aktivasinya adalah ∆G#, sehingga persamaannya dapat dituliskan seperti pada Persamaan 2.12.
ia= io = Ao exp [-∆G#/RT]     (2.8)

Apabila (ia>ic), maka proses korosi berlangsung secara menyeluruh, sehingga kesetimbangan menjadi rusak dan energi bebas logam berada pada tingkat yang berlainan dengan energi bebas ionnya.

Polarisasi atau penyimpangan potensial kesetimbangan, sama dengan gabungan polarisasi anoda logam dengan polarisasi katoda pada lingkungannya. Jika polarisasi keseluruhan adalah η dan polarisasi anoda (1-α) η, maka besarnya polarisasi katoda αη. Polarisasi dapat dikalikan dengan faktor zF, sehingga energi aktivasi baru untuk reaksi anoda adalah [∆G# -(1-α).η.z.F]. Karena tingkat energi logam bertambah, sedangkan energi aktivasinya berkurang, maka persamaannya dapat dituliskan menjadi persamaan 2.9.

Ekstrapolasi Tafel merupakan metode pengukuran laju korosi berdasarkan kurva η versus log i. Polarisasi katodik dan anodik menghasilkan suatu garis lurus dengan kemiringan (slope) tertentu dimana nilai dari slope merupakan tetapan dari η. Ekstrapolasi tafel dikenal sebagai ilustrasi pengaplikasian mixed potential theory pada korosi aquous. Ketepatan katodik ekstrapolasi tafel membutuhkan sebuah proses reduksi tunggal dan kondisi ini sering ditemukan pada daerasi larutan asam kuat dimana terjadi reduksi ion H+ menjadi H2.

Apabila dari persamaan Tafel diubah ke dalam bentuk grafik, maka akan diperoleh plotting antara variasi polarisasi terhadap log i, baik untuk reaksi anoda maupun reaksi katoda menghasilkan perpotongan antara kedua garis tersebut, yaitu potensial korosi (Ekor) dan arus korosi (io) yang digambarkan pada Gambar 2.2.

Polarisasi katodik sebesar ec maka icakan naik dan ia akan turun; sehingga:
i ukur = ia - ic     (2.13)
Saat polarisasi meningkat, maka akan didapat persamaan 2.15.
ηa = βa log [( iterukur + ic) / io ]     (2.14)


Gambar 2.3 Pengeplotan Tafel Teoritis


Gambar 2.4 Pengeplotan Tafel praktis

Apabila i ukur>ic , maka dihasilkan pengeplotan Tafel yang linier. Namun bila ia≤ io (polarisasi mendekati nilai Ekor), maka harga iukur jauh meninggalkan ia yang sebenarnya dan penyimpangan yang besar dari perilaku liniernya akan terjadi (Trethwey, 1991).

Potensiodinamik

Metode potensiodinamik merupakan metode pengukuran kuantitatif terhadap sifat korosi suatu bahan. Potensiodinamik biasanya digunakan pada pengukuran perilaku aktif-pasif suatu logam. Metode ini menggunakan kontrol overpotensial secara langsung, sehingga laju korosi dapat teramati melalui pembacaan langsung kurva polarisasi potensialnya. Metode pengukuran ini pada umumnya menggunakan tiga elektroda. Skema secara umum metode potensiodinamik dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Rangkaian alat potensiodinamik

Prosedur potensiodinamik menggunakan suatu potensial yang ditingkatkan dari Ekor keadaan aktif. Potensiodinamik dapat diprogram untuk meningkatkan potensial secara kontinyu dari potensial korosi (Ekor). Arus yang terpakai meningkat sejalan dengan potensial yang mengikuti kurva anodik. Kurva polarisasi anodik dalam potensiodinamik, mengikuti putaran pasif kurva anodik (Jones, 1996).

5. Pengendalian Korosi

Setiap komponen yang terbuat dari logam akan mengalami 3 tahapan utama, yaitu: perancangan, pembuatan, dan pemakaian. Pengendalian korosi memainkan peranan penting dalam setiap tahapnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghambat/mencegah terjadinya proses korosi antara lain:
1. Memisahkan logam dari lingkungan
Memisahkan logam dari lingkungan adalah acara yang sangat populer dan banyak dilakukan. Cara ini meliputi pelapisan dengan lapisan pelindung organik atau anorganik (logam/bukan logam). Teknik perlindungan ini dapat dilakukan dengan pengecatan, semprot, dan lain sebagainya.
2. Mempertinggi ketahanan logam
Membuat logam tahan terhadap korosi, dimaksudkan untuk memperoleh ketahanan korosi dari logam dalam lingkungan tertentu. Ketahanan logam dari korosi dapat diperoleh dengan cara dapat menghindarkan adanya daerah-daerah katodik dan anodik pada permukaan logam, atau menjadikan permukaan logam tertutup oleh lapisan yang protektif.
3. Membalikkan arah arus korosi

Cara ini biasanya dikenal dengan istilah proteksi katodik dimana proses korosi dicegah dengan jalan memperlakukan logam yang dilindungi sebagai katoda. Cara ini biasanya dipakai untuk pencegahan korosi pipa-pipa baja, rel kereta api. Pipa-pipa baja ini dihubungkan ke tanah dengan kawat aluminium/seng sehingga pada baja terjadi arus anoda dan kawat penghubung terjadi arus katoda. Hal ini menyebabkan pipa baja tidak terkorosi dan kawat penghubung yang akan terkorosi (Trethwey, 1991).

Condacting Polimer (CP)

Pelapisan condacting polimer (CP) telah banyak diuji oleh peneliti sebagai anti korosi. Condacting polimer (CP) dapat digunakan sebagai sebuah pelapis baja. CP biasanya dimanfaatkan sebagai lapisan primer pada pengecatan atau sebagai aditif untuk pelapisan organik. CP yang biasanya digunakan yaitu polianilin (Pani), polipirol (PPy) dan polythiophene (PTH) (S. Biallozor, 2005). Beberapa mekanisme yang telah dilakukan oleh peneliti untuk menjelaskan peran CP sebagai pelapis anti korosi. Pertama didasarkan pada potensi redoks CP, yang lebih positif dibandingkan dengan substrat logam (W.K. Lu, 1998).

Di sisi lain, dari sejumlah literatur telah menunjukkan bahwa CP primer dikombinasikan dengan cat memberikan perlindungan dari korosi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pelapisan cat sebagai lapisan primer saja. Misalnya CP dikombinasikan dengan epoxy dan polyurethane resin (A.J. Domonis, 2003). Modifikasi cat dengan penambahan konsentrasi rendah dari CP (0,2-0,3% b/b) telah terbukti memberikan ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan dengan cat tidak dimodifikasi (J.I. Iribarren, 2005). Dengan demikian, cat yang termodifikasi CP dapat mencegah baja dari korosi dengan mengisolasi substrat dari lingkungan, yaitu membatasi akses polutan oksigen, air atau lainnya untuk permukaan baja. Untuk membuat cat lebih efektif, beberapa inhibitor korosi sering ditambahkan seperti serbuk seng, besi oksida, senyawa kromium dan lain-lain. Namun, beberapa anti korosi aditif mengurangi kinerja cat dan bahkan dapat mengakibatkan dalam masalah lingkungan dan kesehatan. Dengan demikian, saat ini CP waktu dianggap alternatif untuk menggantikan pigmen anti korosi.

Daftar Pustaka

Honeycombe, R.W.K, (1995), Steels Microstructure and Properties, Second Edition, Edward Arnold, London
Jones, Denny A., (1996), Principle and Prevention of Corrosion, Second edition, 477-570
Scendo, M., (2007), Inhibitive action of the purine and adenin for copper corrosion in sulphate solution, Corrosion Science 49: 2985-3000
Shreir, L., Jarman, R. A., (1994), Corrosion; Metal/Environtment Reactions, third edition, Reed educational and professional publishing Ltd, Oxford, 5
Talbot, David; Talbot, James, (1998), Corrosion Science and Technology, CRC Press LLC, USA
Thretwey, Kenneth R dan John Camberlein, (1991), Korosi untuk Mahasiswa Sains dan Rekayasa Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Monday, 25 July 2016

JENIS-JENIS KARAKTERISASI PADA POLIMER

KARAKTERISASI POLIMER

1. Penentuan Berat Molekul

Penentuan berat molekul harus dilakukan secara akurat untuk mengetahui sifatnya. Penentuan berat molekul bergantung pada teknik pengukuran yang dilakukan, seperti tekanan osmotik yang dilakukan untuk menghitung jumlah molekul dalam larutan sehingga diperoleh berat molekul rata-rata jumlah, Mn, (Persamaan 1), sedangkan teknik light scattering dapat menentukan berat molekul rata-rata berat, Mw, (Persamaan 2). Teknik yang paling sederhana dan banyak digunakan untuk menentukan berat molekul polimer adalah viscometer. Pada teknik ini, waktu diukur saat larutan polimer mengalir melewati kapiler. Pengukuran waktu pada konsentrasi polimer yang berbeda dan dibandingkan dengan waktu yang diperoleh untuk pelarut murni dapat menentukan viskositas intrinsic (ƞ) suatu polimer. Viskositas intrinsic ini dapat dihubungkan dengan persamaan Mark-Houwink-Sakurada (Persamaan 3), dimana M adalah berat molekul rata-rata, K dan a adalah konstanta. Nilai a dapat ditentukan secara langsung oleh interaksi antara pelarut dengan polimer.

Pada Kromatografi Permeasi Gel (GPC), pengukuran berat molekul dihubungkan dengan volum hidronamik molekul. Teknik ini didasarkan pada fenomena ukuran partikel, pemisahan dan penentuan sistem polidispers seperti pada polimer dan multi komponen sampel biologi. Polimer dipisahkan dengan volum hidronamiknya. Larutan polimer mengalir melalui kolom fasa padat berpori (sering digunakan polistiren yang diikat silang dengan divinil benzen); molekul kecil dapat lebih mudah masuk melewati pori-pori dibandingkan dengan molekul yang besar yang mengakibatkan jalur pergerakan molekul kecil semakin panjang dan lebih lama sehingga molekul yang lebih besar akan keluar lebih dahulu. Teknik ini tidak dapat memberikan harga mutlak, tapi dapat mengetahui harga relatif dengan adanya suatu sampel yang dibandingkan. Oleh karena itu, teknik ini membutuhkan kalibrasi dengan memberikan sederet polimer yang sudah diketahui berat molekulnya. Karena teknik ini bergantung pada ukuran partikel, maka jenis polimer dan pelarut yang digunakan sangat penting untuk diperhatikan.

Data yang diperoleh dari polistiren dengan pelarut klorofom tidak sama dengan polistiren yang menggunakan pelarut tetrahido furan (THF). Poli(metil metakrilat) dalam pelarut THF tidak boleh dibandingkan dengan standar polistiren. Saat mensintesis polimer baru, tidak mungkin untuk menggunakan standar yang ada, dan banyak usaha yang dilakukan untuk menemukan penyelesaian masalah tersebut. Salah satu metode yang populer adalah menggunakan GPC yang digabungkan dengan detektor vikositas, yang dikenal sebagai metode kalibrasi universal. Teknik ini menggunakan hubungan antara volum elusi dengan hasil dari vikositas intrinsik dan berat molekul. Sistem GPC yang tebaru dilengkapi dengan detektor light scattering menjadi metode yang lebih populer. Metode ini dapat menentukan distribusi berat molekul sampel polimer dengan sangat baik.


Gambar 1.1 Data GPC dari dendrimer poliaromatik yang mengandung monomer amida-ester.

Gambar di atas menunjukkan adanya dua jenis dendrimer yang memiliki bentuk monodispers oleh Matrix-assisted laser desorption ionization-time of flight (MALDI-TOF) (dikarenakan GPC tidak memiliki resolusi yang cukup dalam menyediakan tampilan gambar yang akurat untuk distribusi berat molekul sampel tersebut).

2. Komposisi dan Struktur

1H dan 13C NMR adalah alat yang sangat penting untuk digunakan dalam karakterisasi material polimer. 1H NMR dapat memberikan informasi yang berhubungaan dengan komposisi senyawa. Hal ini sangat penting dalam mengetahui informasi suatu kopolimer seperti penentuan rasio reaktivitas, dan untuk polimer vinil dapat memberikan informasi tentang adanya monomer yang tidak reaktif. Pada penentuan struktur poli(metil metakrilat), taktisitas polimer dapat ditentukan langsung dengan menggunakan 1H NMR. Akan tetapi, sering ditemukan garis lebar pada spektra 1H NMR yang relatif besar dibandingkan dengan perbedaan pergeseran kimia pada struktur yang berbeda. Oleh karena itu, taktisitas polimer dapat diamati dari spektra 13C NMR. Gambar 2.1 menunjukkan adanya resonansi nitril dari sampel polakrilonitril; variasi susunan streokimia dapat diselesaikan dan ditetapkan untuk variasi unit berulang pentad. Sedangkan untuk kandungan rantai utama polimer dari poliakrilat tidak diketahui.


Gambar 2.1 Spektra NMR poliakrilonitril

Pada sistem kopolimer, NMR tidak hanya digunakan untuk menentukan komposisi dan reaktivitas relatif dari dua monomer, tapi juga dapat digunakan untuk menentukan urutan monomer dalam rantai polimer. Hal ini memungkinkan seseorang untuk membedakan antara kopolimer blok dengan kopolimer bergantian (alternating copolymer), dan memungkinkan untuk mengetahui rasio reaktivitasnya. Gambar 2.2 menunjukkan bagian nitril dari spektra 13C NMR diamati dari kopolimer akrilonitril dan 2-vinil piridin. Penentuan jumlah mikrostruktur beberapa perhatian karena tingginya intensitas pada 13C NMR tidak hanya bergantung pada jumlah molekul yang terkandung dalam bagian susuan tersebut tapi juga bergantung pada faktor lingungan. Banyaknya faktor lingkungan yang terdapat pada beberapa mikrostruktur dapat mempengaruhi tingginya intensitas sehingga dapat digunakan untuk membedakan adanya beberapa deret unit komonomer.


Gambar 2.2 Spektra 13C NMR dari kopolimer akrilonitril(A)/2-vinil piridin(P) (30:70).

NMR ini bukan satu-satunya teknik analisis yang digunakan untuk membedakan komposisi dan mikrostruktur dari material suatu polimer. Teknik analisis lain yang dapat digunakan antara lain, spektroskopi ultraviolet-visible (UV-Vis), spektroskpi Raman dan spektroskopi inframerah (IR). Spektroskopi IR dan Raman dapat digunakan untuk mengetahui ikat silang, atau adanya unit aromatik, material bentuk lelehan atau larutan dalam suatu pelarut yang sesuai dengan NMR.

3. Mikroskopi Elektron

Mikroskopi elektron diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu Transmission Electron Microscopy (TEM) yang melibatkan spesimen tipis dan Scanning Electron Microscopy (SEM) yang melibatkan sampel pada fasa ruahnya. Saat polimer dikenai berkas elektron, energinya akan dihamburkan dalam suatu spesimen sehingga ikatan menjadi putus serta sifat fisik dan kimia menjadi berubah.

3.1 Untuk TEM, dasar yang diperlukan adalah spesimen yang digunakan harus tipis untuk dilakukan transmisi berkas elektron (~100 nm). Secara spesifik, spesimen yang tipis dapat diuji langsung atau setelah dilapisi lapisan pendukung (support) tapi menyebabkan perubahan geometri molekul. Pada material polimer, ultramikrotonomi adalah cara yang dapat langsung digunakan, tapi proses pemotongan sangat sulit dilakukan, melibatkan banyaknya spesimen yang terurai. Teknik alternatif yang digunakan meliputi, in situ kristalisasi, mechanical elongation, dan fragmetasi.

Dalam TEM, gambar yang kontras bergantung pada variasi jumlah atom (Z-contrast), variasi ketebalan (thickness contrast) dan difraksi Bragg (diffraction contrast). Dalam material polimer konduktor (conducting polymer) dan polimer campuran (blending polymer) variasi komposisi dapat mempengaruhi gambar yang kontras. Gambar yang kontras dapat dipengaruhi oleh perlakuan kimia dari spesimen dan mempengaruhi beberapa titik-titik noda yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada pendistribusian densitas elektron suatu unsur kedalam struktur pada sisi partikular, reaksi kimia atau absorpsi fisik.

Noda polimer yang banyak digunakan antara lain, osmium tetraoksida (OsO4) (yang secara luas diterapkan untuk kopolimer blok tak jenuh) dan sistem modifikasi karet), ruthenium tetraoksida (RuO4) (titik noda yang sudah banyak diaplikasikan dengan sukses pada berbagai jenis polimer yang berbeda), asam klorosulfonat dan asam fosfotungstat (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Hasil TEM titik noda Ru-O4 pada film tipis polimer campuran dengan struktur ataktik polistiren/Kraton G1650 (polistiren 30%).

Cara alternatif yang menghasilkan spesimen tipis dimana transmisi berkas elektron yang bervariasi berkaitan dengan struktur adalah replikasi permukaan. Meskipun terdapat banyak variasi, replikasi melibatkan penguapan dari beberapa densitas elektron logam ke dalam permukaan sampel yang disebut shadowing (untuk memberikan gambar yang kontras), diikuti produksi lapisan tipis (lapisan tipis pendukung yang transparan).

3.2 SEM adalah sejenis mikroskop yang menggunakan elektron untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis menggunakan SEM dapat mengetahui struktur mikro (termasuk porositas dan bentuk retakan) dari benda padat. Pada dasarnya SEM terdiri dari empat bagian utama, yaitu penembak electron (electron gun), perangkat demagnetisasi, perangkat penarikan (scan unit) dan sistem deteksi. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filament yang dipanaskan dan disebut sebagai electron gun. Gelombang elektron ini terkondensasi pada lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa obyektif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan dikumpulkan oleh detektor sekunder. Gambar yang dihasilkan oleh SEM berasal dari ribuan titik yang diperoleh dari berbagai intensitas pada permukaan tabung sinar katoda (CRT, Cathode Ray Tube). Kolom cuplikan berada dalam sebuah ruang vakum. Salah satu sebabnya untuk menghilangkan udara/gas yang ada, karena gas dapat bereaksi dengan sinar elektron. Cuplikan yang akan dianalisis dalam SEM perlu dilapisi oleh suatu lapisan tipis yang bersifat sebagai material penghantar listrik.


Gambar 3.2 Hasil SEM membran kitosan :
(a) murni, (b) 10% abu layang, (c) 30% abu layang dan (d) 50% abu laying

Gambar 3.2 merupakan hasil karakterisasi polimer komposit kitosan/abu layang dengan menggunakan SEM. Dari gambar tersebut terlihat bahwa membran kitosan murni memiliki morfologi yang halus dan rata, sedangkan pada membran komposit kitosan/abu layang memiliki morfologi yang kasar. Hal ini menunjukkan bahwa partikel abu layang sudah terdispersi secara merata dalam matriks polimer.

4. Fourier Transform Infrared Spectroscopy

Dua metode instrumental dari spektroskopi IR (Inframerah) yaitu metode dispersif yang lebih tua, di mana prisma atau kisi digunakan untuk mendispersikan radiasi IR, dan metode Fourier transform (FT) yang lebih baru, yang menggunakan prinsip interferometri. Beberapa keunggulan dari FT-IR ini yaitu persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi data karena memiliki komputer yang terdedikasi.

Spektrum-spektrum dispersif dari sebagian besar polimer impor komersial telah diketahui sehingga identifikasi kualifikasi zat-zat yang tidak diketahui bisa diselesaikan dengan perbandingan. Hal ini mencakup polimer-polimer yang memiliki stereokimia atau distribusi rangkaian monomer yang bervariasi, karena perbedaan tersebut akan mengahsilkan spektrum-spektrum yang berbeda. Jika spektrum-spektrum komparatif tidak tersedia, maka untuk mengetahui struktur polimer bisa diperoleh melalui pertimbangan terhadap pita-pita absorpsi gugus fungsional, atau dengan membandingkan spektrum-spektrum dengan spektrum senyawa-senyawa model berat molekul rendah yang siap dikarakterisasi dengan struktur yang mirip.

FT-IR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitian-penelitian struktur polimer. Oleh karena spektrum-spektrum dapat dipindai, disimpan dan ditransformasikan dalam hitungan detik, maka teknik ini memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Ukuran sampel yang sangat kecil memudahkan penggabungan metode FT-IR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi.

FT-IR berguna dalam meneliti paduan-paduan polimer. Sedangkan paduan yang tidak dapat bercampur memperlihatkan suatu spektrum IR yang merupakan superposisi dari spektrum homopolimer, spektrum paduan yang dapat bercampur adalah superposisi dari tiga komponen yaitu dua spektrum homopolimer dan satu spektrum interaksi yang timbul dari interaksi kimia atau fisika antara homopolimer.


Gambar 4.1 Hasil FTIR membran kitosan:
(a) murni, (b) abu layang 10%, (c) abu layang 30% dan (d) abu layang 50%.

Dari gambar di atas, menunjukkan adanya puncak yang khas pada masing – masing membran. Terdapat puncak pada bilangan gelombang 3246, 2919, 1617, 1541, 1375 dan 1054 cm-1 yang masing – masing menunjukkan adanya gugus –OH, vibrasi ulur –CH2, vibrasi tekuk amida I dan amida II, vibrasi tekuk –CH2, serta vibrasi ulur C–O. Puncak pada bilangan gelombang 517 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi tekuk unit tetrahedaral (Si, Al)O4. Membran dengan kandungan abu layang 50% memiliki intensitas yang paling besar dibandingkan yang lainnya. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara abu layang termodifikasi dengan matriks kitosan. Selain itu, dengan adanya abu layang ini menyebabkan meningkatnya intensitas di daerah bilangan gelombang 3246 cm-1 karena sebagian besar kandungan abu layang adalah silika yang memiliki gugus –OH.

5. Atomic Force Microscopy

AFM (Atomic Force Microscopy) merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengetahui topografi permukaan suatu sampel secara mikroskopik. AFM terdiri atas centilever dengan tip yang tajam pada ujungnya. Saat tip tersebut berdekatan dengan suatu sample, medan gaya antara probe dan sample akan menghasilkan defleksi pada centilever. Berdasarkan prinsip ini, bisa diperoleh informasi mengenai: gambar 3D, kehalusan/kekasaran permukaan, dan gaya.

Gambar 5.1 Prinsip Kerja AFM

Gambar 5.2 merupakan hasil karakterisasi suatu sampel membran komposit nafion-laponit teraktivasi dengan AFM. Tingkat kekasaran membran nafion murni lebih rendah dibandingkan membran nafion-laponit. Hal ini disebabkan karena distribusi partikel laponit (Gambar 5.2 b) telah terdistribusi ke dalam hampir seluruh permukaan nafion.

Gambar 5.2 AFM topografi 3D. (a) membran nafion murni dan (b) membran nafion-laponit.

6. Thermogravimetri Analysis (TGA)

TGA adalah suatu teknik pengukuran variasi berat sampel sebagai fungsi suhu pemanasan dalam atmosfer yang terkontrol. Variasi berat ini berupa hilangnya berat ataupun bertambahnya berat sampel materi, sehingga titik fokus analisis adalah perubahan berat sampel materi terhadap pemanasan. Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan kemurnian sampel, perilaku dekomposisi, stabilitas termal, degradasi termal, reaksi kimia yang melibatkan perubahan berat materi akibat absorpsi, desorpsi, dan kinetika kimia.

Tempat sampel diletakkan pada pemanas elektrik dalam termocouple untuk mengukur temperatur. Atmosfer murni dengan gas inert berfungsi untuk mencegah reaksi oksidasi atau reaksi lain yang tidak diinginkan. Komputer digunakan untuk mengontrol instrumen. Analisis TGA dilakukan dengan meningkatkan temperatur secara berangsur-angsur dan membuat plotting antara berat dan suhu. Bagian-bagian dari instrument TGA ini dapat dilihat pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1 Bagian-bagian dari Instrumen TGA.

Salah satu contoh hasil analisis dengan menggunakan TGA yaitu analisis termal membran hibrid 2-acrylamido-2-methylpropanesulfonic acid (AMPS) – montmorillonite (MMT) yang digunakan sebagai filler Nafion. Uji analisis termal menggunakan TGA dilakukan dengan tujuan untuk mengamati stabilitas termal dan dekomposisi dari membran hibrid, sifat tersebut akan dibandingkan dengan membran Nafion murni. Hasil analisis TGA untuk tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.2.

Gambar 6.2 Termogram TGA dari membran nanokomposit Nafion/AMPS-MMT yang dibandingkan dengan membran Nafion murni.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa kedua membran, baik membran nanokomposit Nafion/AMPS–MMT maupun membran Nafion murni memiliki dua langkah pola degradasi. Pada kurva membran nanokomposit, berat dari membran berkurang pada daerah suhu 220 °C, hal ini disebabkan karena terjadinya dekomposisi dari gugus sulfonat pada gugus samping Nafion seperti halnya dengan molekul AMPS. Pengurangan berat yang kedua, terjadi pada suhu 300 °C yang disebabkan karena terdegradasinya gugus terflourinasi pada rantai utama polimer Nafion. Meskipun pada kurva terlihat pola dekomposisi yang hampir sama antara membran nanokomposit dan membran Nafion murni, adanya AMPS–MMT membuat membran nanokomposit Nafion/AMPS–MMT memiliki stabilitas termal yang sangat baik pada kedua tahap degradasi.

7. Analisis Kristalinitas Polimer Menggunakan X-Ray Diffraction (XRD)

Metode difraksi sinar-X adalah salah satu cara untuk mempelajari keteraturan atom atau molekul dalam suatu struktur tertentu. Jika struktur atom atau molekul tertata secara teratur membentuk kisi, maka radiasi elektromagnetik pada kondisi eksperimen tertentu akan mengalami penguatan. Pengetahuan tentang kondisi eksperimen itu dapat memberikan informasi yang sangat berharga tentang penataan atom atau molekul dalam suatu struktur.

Sinar-X dapat terbentuk bilamana suatu logam sasaran ditembaki dengan berkas elektron berenergi tinggi. Dalam eksperimen digunakan sinar-X yang monokromatis. Kristal akan memberikan hamburan yang kuat jika arah bidang kristal terhadap berkas sinar-X (sudut ϴ) memenuhi persamaan Bragg, seperti ditunjukkan dalam persamaan (4).
2d sinϴ = nλ ……………………........... (4)
dimana :
d = jarak antar bidang dalam kristal
ϴ = sudut deviasi
n = orde (1, 2, 3, 4, … )
λ = panjang gelombang

Difraksi sinar-X dapat memberikan informasi tentang struktur polimer, termasuk tentang keadaan amorf dan kristalin polimer. Polimer dapat mengandung daerah kristalin yang secara acak bercampur dengan daerah amorf. Difraktogram sinar-X polimer kristalin menghasilkan puncak-puncak yang tajam, sedangkan polimer amorf cenderung menghasilkan puncak yang melebar. Pola hamburan sinar-X juga dapat memberikan informasi tentang konfigurasi rantai dalam kristalit, perkiraan ukuran kristalit, dan perbandingan daerah kristalin dengan daerah amorf (derajat kristalinitas) dalam sampel polimer.

Pada umumnya bahan polimer bersifat semikristalin, yang berarti memiliki bagian amorf maupun bagian kristalin. Baik bagian amorf maupun bagian kristalin dapat menunjukkan intensitas hamburan yang spesifik.

Penentuan derajat kristalinitas dengan difraksi sinar-X dapat dilakukan atas dasar asumsi bahwa daerah kristalin dan amorf terdapat dalam substansi yang sama dan memberikan kekuatan hamburan yang ekuivalen. Derajat kristalinitas (Xc) ditentukan menggunakan persamaan (5).


Gambar 7.1 Difraktogram XRD poliuretan :
a). hasil sintesis dari PEG400–MDI dan b). 15% amilosa–PEG400–MDI

Dari Gambar 7.1, poliuretan dari PEG 400–MDI sebelum biodegradasi memiliki derajat kristalinitas sebesar 33,799 % dan sesudah biodegradasi menjadi 31,506 %. Dengan kata lain proses biodegradasi dapat menurunkan derajat kristalinitas. Penurunan derajat kristalinitas tidak hanya disebabkan oleh terjadinya penuurunan intensitas pada daerah kristalin tetapi juga pada daerah amorf.