Pada prinsipnya, persamaan ini dapat digunakan untuk menentukan banyak hal: misalnya cara di mana elektron kelompok sendiri tentang inti ketika membentuk sebuah atom, energi elektron yang masing-masing memiliki, cara yang dapat menjalani transisi antara keadaan energi, dll dalam praktek penerapan persamaan Schrodinger untuk masalah ini menyajikan kesulitan yang hanya dapat diatasi dalam kasus atom sederhana atau dengan menggunakan perkiraan kotor. Namun, di sini kita akan membahas dengan hasil yang diperoleh dan hanya dalam jangka kualitatif daripada teori matematis dari proses. Teori Schrodinger dapat digunakan untuk memprediksi probabilitas sebuah elektron dengan energi tertentu berada di titik tertentu dalam ruang, dan itu mengungkapkan kemungkinan ini dalam hal ekspresi aljabar yang sangat penting yang disebut fungsi gelombang elektron. Fungsi gelombang diberi ψ simbol Yunani. Cukup sederhana, probabilitas untuk menemukan sebuah elektron, fungsi gelombang yang merupakan ψ. Dalam satuan volume pada suatu titik tertentu dalam ruang, sebanding dengan nilai ψ2 pada saat itu.
Probabilitas Densitas Relatif = ψ2
Fungsi gelombang elektronik terdiri dari tiga unsur:
(1) beberapa konstanta fisik fundamental (π, h, m, e, dll di mana m dan e adalah massa dan muatan, masing-masing, elektron),
(2) parameter khas sistem misalnya untuk atom, jarak dari inti, baik radial (r) atau sepanjang beberapa sumbu koordinat (x, y, z), dan
(3) satu atau lebih bilangan kuantum.
Yang terakhir ini tidak berarti sewenang-wenang diperkenalkan ke masalah dalam rangka untuk membuat prediksi sesuai dengan percobaan, mereka milik solusi dari persamaan Schrodinger dalam arti bahwa ψ merupakan situasi fisik yang masuk akal hanya jika bilangan kuantum memiliki nilai tertentu.
Sebagai contoh, kita dapat memberikan persamaan fungsi gelombang, ψn, yang merupakan solusi untuk persamaan Schrodinger untuk atom hidrogen:

Orbital bilangan kuantum l (atau azimut) juga memiliki nilai-nilai integral saja, tetapi ini harus kurang dari n. Jadi untuk n=3, l dapat 2, 1, atau 0. Hal ini mengatur bentuk orbital (Gambar 5.1) dan momentum angular dari elektron karena beredar tentang inti di orbitnya. Tabel 5.1 bilangan kuantum atom Bilangan Kuantum    Nilai yg diijinkan      Fungsi
Principal, n               1, 2, 3, …                Menentukan energi dan ukuran orbital
Orbital, l                  (n-1), (n-2), …, 0      Menentukan bentuk orbital dan momentum angular elektronik
Magnetik, m            ±l, ±(l - 1), …, 0        Menentukan arah orbital dan prilaku elektron dalam medan magnet
Spin, s                    +½                            Menentukan momentum angular aksial dari elektron Bilangan kuantum magnetik m mengambil nilai-nilai integral yang tergantung pada l. Jadi untuk l = 2, m dapat +2, +1, 0, -1, -2 atau, secara umum terdapat 2l + 1 nilai m. selain yang menunjukkan perilaku elektron dalam orbital s ketika atom ditempatkan dalam medan magnet, m kuantum nomor juga dapat digunakan untuk menentukan arah suatu orbital tertentu. Bilangan kuantum spin s adalah jumlah besarnya +½. Bilangan kuantum spin ini mengukur momentum angular spin elektron apakah berada dalam atom atau dalam ruang bebas.



dari aturan seleksi kita melihat langsung bahwa elektron dalam keadaan dasar(1s) dapat mengalami transisi ke keadaan dasar p :
1s     ⟶     np     (n≥2)
Sementara elektron 2p dapat memiliki transisi ke keadaan dasar s atau p:
2p⟶ns       atau       nd
Transisi orbital s dan d ini dibahas pada Gambar 5.2.

Oleh karena itu:




√(l(l+1).) h/2π = √(l(l+1)) satuan
Momentum angular adalah besaran vektor, yang mempunyai besar dan arah yang sama pentingnya. Secara konvensional, vector dapat diwakili oleh anak panah, dan vector momentum angular diwakili oleh panah berbasis dipusat pada puncak, sepanjang puncak sumbu, dan dari panjang sebanding dengan besarnya momentum angular orbital. Seperti anak panah bisa berbelok dalam duaarah yang berbeda, pada 1800satu sama lain, petunjuk ini terkait, tergantung pada konvensi tanda yang digunakan, dengan rotasi searah jarum jam dan berlawanan arah jarum jam dari puncak. Secara matematis, kita dapat mengabaikan bentuk perputarannya dan hanya memperhatikan sifat dari anak panah tersebut. Hal itu biasanya untuk membedakan jumlah vector dengan menggunakan tipe garis tebal dan kami sesuaiakan mewakili momentum angular orbital oleh I symbol di mana:
I = √(l(l+1) ) satuan Pada persamaan ini l selalu bernilai 0 atau positif dan begitu juga I. Karena I dan l sangat berkaitan erat sehingga sering digunakan dengan bebas secara bergantian. Sehingga kita menganggap bahwa sebuah elektron mempunyai momentum angular 2 ketika menganggap l=2 dan I = √("2 X 3" ) = 2,44 satuan.
Momentum angular orbital terjadi karena interaksi antara bilangan-bilangan kuantum orbital (l) dari masing-masing elektron. Resultan dari bilangan-bilangan kuantum orbital tersebut dinyatakan dengan momentum angular orbital (I) yang harganya terkuantisasi.
Kita mungkin awalnya berpikir bahwa vektor dari momentum angular dari sebuah elektron bisa menunjukkan jumlah yang tak terbatas dari arah yang berbeda. Namun akan tetap diperhitungkan tanpa menggunakan teori kuantum. Pada kenyataannya, sekali arah referensi telah ditetapkan (dan ini dapat dilakukan dengan banyak cara, baik secara eksternal, misalnya dengan menerapkan medan listrik atau magnet, atau internal, mungkin dalam hal vektor momentum angular dari satu elektron tertentu, vektor momentum angular dapat menunjuk hanya agar komponennya sepanjang arah referensi merupakan kelipatan integral dari h/2h. Gambar 5.4 (a) dan (b) menunjukkan keadaan untuk sebuah elektron dengan nilai l = 1 dan l = 2 (i.e a=p dan b=d). Arah dari contoh disini mengambil garis vertikal pada gambar yang secara konvensional digunakan untuk menetapkan sumbu z, dan kita dapat menuliskan componen dari I pada arah ini sebagai Iz.
          Iz = lz . h/2π Persamaan diatas digunakan untuk menjelaskan gambar dibawah, kita bisa melihat jika l =1, maka, nilai I = +1,0 dan -1, untuk l=2, maka I = +2, +1, 0, -1 dan -2. Secara umum nilai Iz bisa dirumuskan dengan,
I z = l, l-1, ..., 0,.....,-(l-1), l
5.2.2 Momentum Angular Spin Elektron Momentum angular spin terjadi karena adanya interaksi atau kopling antara bilangan-bilangan kuantum spin dari masing-masing elektron. Resultan antara bilangan-bilangan kuantum spin dinyatakan dengan momentum angular spin (s) yang harganya terkuantisasi. Setiap elektron dalam atom dapat dianggap berputar terhadap suatu sumbu serta mengorbit sekitar inti. gerak spin ditunjukkan dengan bilangan kuantum spin s, yang hanya memiliki nilai ½. Sehingga momentum angular spin diberikan oleh:
S = √(s (s+1) ) h/2π = √(1/2 x 3/2) = 1/2√3
Hukum kuantisasi untuk momentum angularbahwa vektor dapat mengarahkan sehingga memiliki komponen dalam arah referensi yang setengah kelipatan integral dari h/2pi sehingga s = sh / 2pi dengan s mengambil nilai +1/2 atau -1/2 saja. (yaitu 2s +1) dua arah diperbolehkan ditunjukkan pada Gambar 5.4, mereka biasanya berdegenerasi.

           j : I + s
dimana j adalah momentum angular total, karena I dan s adalah vektor, maka persamaan 5.11 di berikan untuk mengimplikasikan penjumlahan vektor. Dan juga secara formal, kita dapat menyatakan j sebagai bilangan quantum momentum angular total:
           j = √(j (j+1)) h/2π = √(j (j+1))
dimana j adalah setengah dari integral (karena s adalah setengah integral pada sebuah elektron atom), dan hukum quantisasi juga berlaku sama untuk j, I dan s: j dapat memiliki komponen-z yang hanya setengah integral. Sehingga menurut hukum kuantisasi nilai j dapat dituliskan :
           jz = ±j, ±(j-1), ±(j-2),........,1/2
Ada 2 metode dimana kita dapat menyimpulkan bahwa nilai yang diperbolehkan untuk berbagai nilai j pada nilai I dan s tertentu.

Gambar 5.5 Dua keadaan energy pada momentum angular total yang berbeda yang dapat muncul sebagai hasil penjumlahan vector dari l=√2 dan s=1/2 √3 5.2.4 Struktur dari Spektrum Atom Hidrogen Atom hidrogen hanya mengandung satu elektron sehingga momentum kopling orbital dan spin serta konsekuensi pembelahan dari tingkat energinya akan persis seperti yang dijelaskan di atas. kami merangkum rincian penting dari tingkat energi pada Gambar 5.6. Setiap tingkat diberi label dengan perusahaan bilangan kuantum n di sebelah kiri ekstrim dan nilai j yang di sebelah kanan, nilai l ditunjukkan oleh simbol negara S, P dan D, .... di bagian atas setiap kolom. Tidak ada usaha untuk menunjukkan pemisahan tingkat energi P dan D untuk skala dalam diagram ini. Pemisahan antara level hanya terdapat perbedaan pada j yang ribuan kali lebih kecil dari pemisahan antara tingkat n yang berbeda. Namun, kami menunjukkan bahwa membelah j menurun dengan meningkatnya n dan dengan meningkatnya l, F, G menyatakan, tidak ditampilkan pada diagram, mengikuti pola yang sama. Aturan seleksi untuk n dan l adalah sama seperti sebelumnya:
           ∆n = semuanya ∆l = ±1
tetapi sekarang ada aturan seleksi untuk j:
           ∆j = 0, ±1
Aturan-aturan pemilihan menunjukkan bahwa transisi yang diperbolehkan antara setiap tingkat dan setiap tingkat S P:

sehingga spektrum yang diharapkan dari keadaan dasar (1s) menyatakan akan identik dengan seri lyman berharap bahwa setiap baris akan menjadi doublet. pada kenyataannya pemisahan antara garis terlalu kecil akan mudah diselesaikan tetapi kita segera akan mempertimbangkan spektrum natrium yang membelah ini mudah diamati.

Gambar 5.6 Tingkat energy terendah dari atom hydrogen, menunjukkan j-splitting.

Gambar 5.7 Senyawa doublet. Spektrum muncul akibat transisi antara level 2P dan 2D dalam atom hidrogen Transisi antara 2P dan 2D agak lebih kompleks, Gambar 5.7 menunjukkan untuk tingkat energi yang terlibat. jelas transisi pada frekuensi terendah akan bahwa antara pasangan terdekat dari tingkat, 2P3/2 dan 2D3/2. Hal ini sesuai dengan Dj = 0, diperbolehkan. Transisi berikutnya 2P3/2 2D5/2 (∆j=±1) juga diperbolehkan dan akan terjadi kedekatan dengan pertama karena pemisahan antara keadaan D doublet sangat kecil. ketiga, dan lebih banyak jarak, akan 2P1/2 2D3/2 (∆j=±1) tapi transisi keempat (ditunjukkan titik-titik), 2P1/2 2D5/2 tidak diperbolehkan karena untuk j=±2
Sehingga spektrum akan terdiri dari tiga baris yang ditunjukkan di kaki angka. ini, yang timbul dari transisi antara tingkat doublet, biasanya disebut sebagai spektrum senyawa doublet.
Masuknya penghubung antara orbital dan spin momentum telah menyebabkan sedikit peningkatan kompleksitas dari spektrum hidrogen. dalam prakteknya, kompleksitas akan diamati hanya dalam spektrum atom yang lebih berat, karena bagi mereka j-membelah lebih besar daripada hidrogen. pada prinsipnya, bagaimanapun, semua garis pada spektrum hidrogen harus doublet dekat jika transisi melibatkan tingkat s, atau doublet senyawa jika s elektron tidak terlibat. 5.3 ATOM BERELEKTRON BANYAK 5.3.1 Prinsip Dasar Persamaan Schrodiner menunjukan bahwa elektron yang menempati orbital atom dengan jenis dan bentuk yang sama pada orbital s,p,d,...... hanya digunakan untuk membahas atom hidrogen, tapi energi elektron antar atom sungguh berbeda. Ada gejala yang tidak umum pada tingkat energi untuk atom berelektron banyak yang sebanding dengan persamaan schrodiner untuk hidrogen, tiap atom harus diperlakuakan mengenai tempat khususdan tingkat energinya ditunjukan dengan tabel atau diagram yang mirip dengan gambar diatas.
Ada tiga prinsip dasar yang menetapkan bagaimana atom berelektron besar menempati orbital yaitu:
Prinsip pauli : Tidak ada elektron pada suatu atom mempunyai nilai yang sama untuk n, l, lz (≡ m),dan sZ.
Kecenderungan elektron menempati orbital dengan energi rendah
Prinsip Hund : Kecenderungan elektron menempati orbital degenerate sendiri dengan spin yang sejajar. Aturan 1 digunakan untuk jumlah elektron pada tiap orbital. Sebagai contoh; kita mencirikan orbital dan penempatan elektron dengan menetapkan bilangan kuantum n, l, dan m. Jadi orbital 1s atau elektron 1 s mempunyai bilangan kuantum n=1, l=0, dan m=lz=0; elektron akan dicirikan lebih lanjut dengan arah spinnya; yaitu dengan menetapkan sz=+1/2 atau sz=-1/2. Dua elektron bisa menempati orbital 1s yang tersedia secara bersama-sama, berdasarkan aturan 1, bahwa satu atom mempunyai bilangan kuantum n=1, l=0, m=lz=0, sz=+1/2 dan yang lain mempunyai bilangan kuantum n=1, l=0 m=lz=0, sz=-1/2. Dua elektron menempati orbital hanya jika spinya berpasangan (atau berlawanan). Tiga elektron tidak bisa berada dalam orbital yang sama tanpa pengulangan nilai untuk n, l, lz dan sz. Jika elektron ditempatkan pada beberapa orbital lain maka digunakan aturan kedua; elektron akan menuju ke orbital kosong atau setengah kosong lain yang lebih tinggi. Pada umumnya, orbital energi pada atom berelektron banyak meningkat dengan meningkatnya n, seperti yang terjadi pada hidrogen, tetapi pada atom berelektron banyak meningkat dengan meningkatnya l, sebaliknya kita memperhatikan untuk hidrogen bahwa semua orbital s,p,d,... dengan n sama merupakan degenerat. Kenyataanya urutan tingkat energi untuk atom mengikuti :
           1s < 2s < 2p < 3s < 3p < 4s < 3d< 4p < 5s< 4d.......
Sehingga ketika orbital 1s penuh, maka orbital selanjutnya yang tersedia adalah 2s, dan selanjutnya adalah 2p. Ada 3 orbital 2p (total 6 elektron) yang masing-masing menempati koordinat axis dan masing-masing mengandung 2 elektron sehingga dapat ditulis :
           n=2 l=1 lz=1 sz=±1/2
           n=2 l=1 lz=0 sz=±1/2
           n=2 l=1 lz=-1 sz=±1/2
semua tiga orbital p sisa degenerate (seperti pada orbital lima d, tujuh f, dan seterusnya). Aturan 3 yang menjelaskan bagaimana elektron menempati orbital degenerat. Aturan hund menyatakan ketika orbital 2px mengandung elektron selanjutnya elektron akan menempati orbital 2py dan yang ketiga akan menempati orbital 2pz . elektron keempat tidak memiliki pilihan tapi pasangan spinnya dengan elektron yang berada di satu orbital 2p, saat elektron keempta dan kelima saat akan melengkapi orbital ketiga pada 2p.
Pada dasarnya kita dapat menggambarkan konfigurasi elektron pada atom yang 10 lebih kecil, dari hidrogen hingga neon. Pada Gambar 5.2 ditampilkan dimana tiap-tiap kotak menggambarkan orbitl yang ditempati oleh satu atau dua elektron dengan spin ditunjukkan dengan panah. Notasi yang sesuai untuk konfigurasi elektron juga ditampilkan pada tabel.
Ketika orbital yang disajikan n dan l terisi menunjukan sebagai kulit terdekat. Jadi 1s2 untuk helium, 2s2 untuk berilium dan 2p6 untuk semua kulit tedekat. Kulit terdekat tidak memiliki peran pada orbital dan momentum spin angular untuk semua atom dan oleh karena itu kulit terdekat mungkin diabaikan ketika membahas spektra atom. Apabila terdapat dua elektron atom He (z=2) dalam keadaan dasar mempunyai bilangan kuantum berikut :
           n=1 l=0 ms=+1/2       dan       n=1 l=0 ms=-1/2
dengan kata lain, dua elektron He ditempatkan dalam orbital 1s dengan spin berlawanan sesuai dengan prinsip pauli, seperti yang terlihat pada gambar atau 1s2 dengan panah mengarah keatas untuk s=+1/2 dan panah mengarah kebawah untuk s=-1/2. Tabel 5.2 Struktur Elektronik Beberapa Atom


Gambar 5.8 Tingkat energy dari atom Litium Tingkat energi litium digambarkan pada gambar 5.8 yang harus dibandingkan dengan Gambar 5.6 untuk hidrogen. 2 diagram yang mirip diharapkan perbedaan energi antara orbital s, p, dan d pada kulit n pada kasus litium dan kenyataannya, untuk logam ini, keadaan 1s diisi dengan elektron yang biasanya tidak ambil bagian pada transisi spektroskopi, karena diperlukan sedikit energi menimbulkan elektron 2s mengalami transisi. Dibawah kondisi energi tinggi, 1 atau kedua elektron 1s yang dipromosikan atau didorong. Pemilihan aturan pada logam alkali sam adengan pemilihan pada hidrogen. Bahwa ∆n = apapun, ∆l = ±1, ∆j = 0, ±1, dan semua elektron juga mirip. Jika transisi dari keadaan dasar (1s22s) berada pada tingkat p: 2S1/2 n P1/2, 3/2, dan akan terbentuk deret doblet mirip dengan deret lyman, akan terbentuk pertemuan disatu titik pada beberapa titik dari pontensial ion. Dari keadaan 2p, dua deret yang terpisah pada garis akan dilihat pada:
         2 2P1/2, 3/2 n 2S1/2 Dan 2 2P1/2, 3/2 n 2D3/2, 5/2
Bentuknya akan doblet. Akhirnya membentuk senyawa doblet, tapi frekuensinya berbeda karena energi orbital s dan d tidak lagi sama. Hal yang sama berlaku juga untuk alkali yang lain, perbedaan antara spektranya dengan litium hanya pada skalanya. Sebagai contoh j-spliting karena kopling antara l dan s meningkat secara mencolok dengan nomor atom. Jika pemisahan doblet pada garis pada deret spektra, yang tidak mungkin tampak pada hidrogen, kurang dari 1 cm-1 untuk tingkat 2p litium sekitar 17 cm-1 untuk natrium, dan lebih dari 5000 cm-1 untuk cesium. 5.4 Momentum Angular Atom Berelektron Banyak Penurunan persamaan dengan mempertimbangkan kontribusi dua atau lebih elektron yang ada pada luar kulit untuk menghitung total momentum angular atom. Terdapat dua cara yang berbeda yaitu kita dapat menghitung momentum orbital dan spin dari beberapa elektron: Pertama, menghitung kontribusi orbital, kemudian kontribusi spin, dan terakhir menjumlah kontribusi total orbital dan total spin untuk memperoleh jumlah total, yang disimbolkan dengan:
           ∑ li = L ∑ si = S L+S = J
dimana kita menggunakan huruf capital yang ditebali untuk menandakan total momentum.
Menghitung secara terpisah antara momentum orbital dan spin dari masing-masing elektron, kemudian total individual dijumlah untuk mendapatkan jumlah total utama:
           Ii + si = Ji ∑ ji = J
Metode pertama adalah mengetahui coupling Russel-Saunders yang memberikan hubungan dengan spektra ukuran atom (kecil dan medium), metode kedua diaplikasikan untuk atom dengan ukuran besar (yang disebut j-j coupling, sejak individual j’s telah dihitung). Kita harus mempertimbangkan pembentukan secara detail. 5.4.1 Perhitungan Kontribusi Orbital Momen orbital I1, I2, .... dari masing-masing elektron yang mungkin ditambahkan oleh metode yang sama yang telah didiskusikan pada bab 5.2.3 untuk perhitungan momen orbital dan spin pada elektron tunggal. Sehingga kita memperoleh:
Membuat vektor I1, I2, …. secara grafikal, mengingat bahwa resultan L diekspresikan dengan:
           L = √("L (L+1)" ) (L = 0, 1, 2, …)
Dimana L adalah total momentum orbital bilangan kuantum sehingga L dapat mempunyai nilai 0, √2, √6, √12, …. Seterusnya. Pada Gambar 5.9 menunjukkan metode untuk sebuah elektron p dan d, l1=1, l2=2; karena I1=√2, I2=√6 jadi ada tiga dan hanya tiga. Nilai L untuk √12, √6, √2 mengikuti bilangan kuantum secara berturut-turut L = 3, 2, dan 1. Adapun ketiga nilai dari L adalah sebagai berikut

Gambar. 5.9 Perhitungan momen angular orbital untuk satu elektron p dan d Secara alternatif kita dapat menambahkan bilangan kuantum individual l1 dan l2 untuk memperoleh bilangan kuantum total, dimana hubungannya adalah sebagai berikut:
           L = l1 + l2, l1 + l2 – 1, …. |l1 + l2|
Dimana symbol |..…| menunjukkan bahwa kita dapat mengambil harga dari l1 - l2 atau l2 – l1 apapun yang hasilnya bernilai positif. Untuk yang mempunyai dua elektron kita menggunakan 2li+1 yang bernilai beda dari L, dimana li bernilai lebih kecil daripada dua l.
Terakhir kita dapat menambahkan komponen z dari ektor individual, diambil dari hasil komponen yang berhubungan dengan bermacam-macam nilai L yang diijinkan. Proses ini disimbolkan dengan:
           Lz = ∑ liz
Metode 2 lebih sederhana tetapi hanya dapat diaplikasikan ketika elektron individual/tunggal terdapat perbedaan nilai n atau perbedaan nilai l (disebut elektron tidak ekivalen). Jika n dan l adalah sama untuk dua atau lebih elektron dimana dalam disebut ekivalen maka yang digunakan metode 3. 5.4.2 Perhitungan Kontribusi Spin Metode yang dapat digunakan sama dengan metode pada sub bab 5.4.1. Apabila kita menuliskan total momentum angular spin sebagai S dan total spin bilangan kuantum sebagai S (yang sering disebut dengan total spin), kita dapat mempunyai:
Perhitungan grafik, yang memberikan resultan
           S = √("S(S+1)" )
Dimana S adalah integral atau nol jika jumlah kontribusi spin-spin adalah genap atau S adalah setengah integral jika jumlah spin adalah ganjil.
Perhitungan bilangan kuantum individual untuk spin N adalah:
S = ∑ si, ∑ si – 1, ∑ si – 2, ….
= "N" /"2" , "N" /"2" "-1" , …., "1" /"2" (untuk N ganjil)
= "N" /"2" , "N" /"2" "-1" , …., "1" /"2" (untuk N genap) Perhitungan untuk sz individual memberikan Sz
Untuk 3 elektron kita dapat memprediksikan sebagai berikut:

Gambar 5.10 Komponen z dari (a) vector momentum angular orbital, (b) vector spin ketika S setengah-integral, dan (c) vector spin ketika S integral 5.4.3 Total Momentum Angular Persamaan total momentum orbital L dan total momentum spin S memberikan jumlah total momentum J yang dapat diperoleh dengan jalan yang sama untuk persamaan l dan s untuk mendapatkan j untuk elektron tunggal. Persamaan bilangan kuantum J dituliskan sebagai berikut:
           J = √("J(J+1)" ) ∙ "h" /"2π"
Akan integral jika S integral dan setengah integral jika S setengah integral. Dalam bilangan kuantum kita dapat menyebutkan:
           J = L+S, L+S-1, …., |L-S|
Dimana nilai positif dari L-S adalah batas terendah. Contoh jika L=2, S= "3" /"2" maka kita mendapatkan
           J = "7" /"2" , "5" /"2" , "3" /"2" , dan "1" /"2"
Dan apabila L=2, S=1 maka nilai dari J adalah:
           J = 3, 2, atau hanya 1 5.4.4 Term Simbols Dalam spektroskopi elektron, term simbol menentukan tingkatan elektron suatu atom (biasanya multi-elektron), dengan menguraikan bilangan kuantum untuk momentum angular atom tersebut. Term simbol untuk tingkatan atomik tertentu dinyatakan sebagai berikut : Term simbol = (_^(2S+1))L_j
Dimana L merupakan total orbital angular momentum, 2S+1 merupakan multiplicity, J merupakan total angular momentum.
Contoh :
S = 1/2, L = 2; sehingga J = 5/2 atau 3/2 dan 2s+1 = 2. Term simbol : 〖(_^2)D〗_(5⁄2) dan 〖(_^2)D〗_(3⁄2)
Apabila L ≥ S, multiplicity sama dengan banyaknya jumlah perbedaan tingkatan energi.
S = 3/2, L = 1; sehingga J = 5/2, 3/2, 1/2, dan 2S+1 = 4. Term simbols : 〖(_^4)P〗_(5⁄2),〖(_^4)P〗_(3⁄2),〖(_^4)P〗_(1⁄2)
Apabila L < S, hanya ada tiga tingkat energi berbeda, namun demikian masing-masing dinyatakan sebagai quartet karena 2S+1 = 4 Pada proses sebaliknya apabila diberikan term simbol untuk tingakatan atom tertentu maka dapat langsung disimpulkan total angular momentum pada tingkatan tersebut.
〖(_^3)S〗_1 : dapat diketahui bahwa 2S+1 = 3 dan S=1, sehingga L=0 dan J=1
Term simbol hanya menginformasikan total spin, total orbital, dan total momentum tinggi dari suatu atom secara keseluruhan dan tidak menginformasikan tentang kedudukan elektron individu dalam atom, ataupun banyaknya kontribusi masing-masing elektron pada suatu atom. Dari contoh diatas, S = 3/2 menunjukkan bahwa atom mempunyai bilang ganjil pada semua kontribusi elektronnya, kecuali pada spin yang berpasangan. Nilai L=1 menunjukkan kemungkinan adanya 1 elektron p atau 1 elektron p dan 2 s, ataupun beberapa kombinasi lainnya ya memungkinkan. 5.4.5 Spectrum Helium dan Alkali Tanah Helium memiliki nomor atom 2 sehingga kemungkinan spins pada 2 elektronnya dapat berpasangan (singlet) dan parallel (triplet). Tetapi berdasarkan aturan pauli, tidak boleh terdapat dua elektron dalam satu atom dengan empat bilangan kuantum yang sama. Setiap orbital hanya dapat berisi 2 elektron dengan spin yang berlawanan. Jadi ground state pada Helium adalah single state, 〖(_^1)S〗_0. Selection rule mengatur transisi antara tingkatan energi elektronik pada komplek logam transisi, yaitu :
           ΔS = 0
           ΔL = ±1
           ΔJ = 0, ±1

Gambar 5.11 Tingkat energy electron dari atom helium, bersamaan dengan transisi yang diijinkan. Keadaan dasar singlet hanya dapat mengalami transisi hanya pada keadaan singlet lainnya. Seperti yang ditunjukkan pada gambar, pada saat keadaan 1s^2 〖(_^1)S〗_0 hanya dapat mengalami transisi menuju keadaan 1〖snp〗^1 P_1. Pada keadaan ^1 P_1 dapat kembali pada keadaan 〖(_^1)S〗_0 atau dapat mengalami transisi pada keadaan yang lebih tinggi, ^1 D_2. Sedangkan pada keadaan triplet, karena adanya aturan pauli dalam aturan penempatan orbital, keadaan energi terendah adalah 1s2s, yang memiliki S = 1, L = 0, dana J = 1 sehingga term simbol : (_^3)S_1 . Berdasarkan selection rule, transisi hanya terjadi pada keadaan triplet 1 snp dengan S = 1, L = 1, mempunyai J = 2, 1, atau 0 sehingga transisi yg diperoleh sebagai berikut :
          〖(_^3)S〗_1→(_^3)P_2 ,(_^3)P_1 ,(_^3)P_0

Gambar 5.12 Spektrum senyawa triplet yang muncul dari transisi antara tingkat 3P dan 3D pada atom helium 5.4.6 Ekivalen dan Non-ekivalen elektron; Tingkat Energi Karbon Tingkat energi terendah pada karbon adalah 1s22s22p2 yang menunjukkan bahwa orbital 1s dan 2s terisi penuh, sementara orbital 2p hanya terisi sebagian. Elektron pada orbital 2p ini yang akan mengalami transisi spektronik. Dua atau lebih elektron dianggap ekivalen apabila memiliki nilai yang sama pada n dan l. Sehingga 2 elektron pada orbital 2p dalam suatu konfigurasi elektron karbon adalah ekivalen (n1=n2=2, l1=l2=1) sementara 1s2s tidak ekivalen (n1≠n2 walaupun l1=l2). Untuk mengetahui term simbol 2p2 maka digunakan system pendekatan sebagai berikut :
1. Tentukan nilai ML dan Ms
2. Tentukan konfigurasi elektron berdasarkan aturan pauli
3. Buatlah table microstate dan kemudian diisi dengan atomik states yang sesuai


     hv = energi ikat + energi kinetik       Energi ikat = hv – energi kinetik
Dan mengikuti hal tersebut, asalkan kita tahu energi dari radiasi eksitasi monokromatik, kita dapat mengukur energi ikat dari elektron pada atom dibawah pengujian melalui pengamatan energi kinetik dengan yang mereka tinggalkan. Elektron dapat dikeluarkan dari salah satu inti atau tingkat valensi dari atom, berdasarkan energi dari radiasi eksitasinya, dan energi kinetik adalah sifat dari atom yang telah dipancarkan. Jika atom adalah bagian dari molekul, energi dari elektron valensi akan dimodifikasi oleh ikatan, walaupun sifat dari orbital menjadi masalah.

Gambar 5.13 Prinsip Spektroskopi Fotoelektron Ketika ionisasi terjadi energi kinetik diperoleh melalui pancaran elektron tidak tekuantisasi, sehingga beberapa kejadian energi yang lebih tinggi daripada energi ionisasi dapat digunakan untuk eksitasi. Penelitian sumber radiasi monokromatik adalah ideal atau dengan hanya sedikit frekuensi emisi yang tajam. Lampu helium (panjang gelombang emisi 58,4 nm pada wilayah ultraviolet, yang ekuivalen dengan energi foton 21,2 eV) yang umum digunakan untuk eksitasi dari elektron valensi dan teknik ini kemudian disebut dengan spektroskopi fotoelektron ultraviolet. Energi yang lebih tinggi dibutuhkan untuk inonisasi elektron inti terdalam, sehingga cocok menggunakan sumber sinar X, teknik ini disebut dengan spektroskopi fotoelektron sinar X. Dalam kasus ini sinar X dihasilkan oleh penembakan elektron dari target logam murni, seperti Al atau Mg, menghasilkan emisi dari radiasi pada energi yang sangat spesifik, misalnya garis kα untuk Al terjadi pada 1486 eV. Jika sumber intensitas sangat tinggi dibutuhkan, radiasi sinkrotron dapat digunakan, yang mempunyai keuntungan lebih jauh dimana frekuensi emisi dapat diatur melebihi batasnya. Dengan penelitian, pendeteksian elektron harus dilakukan pada kondisi vakum yang tinggi, karena elektron aktif secara kimiawi. Tidak ada yang mengetahui material untuk sumber lampu He dan sehingga lampu biasanya dipasangkan dalam ruang yang mempunyai lubang kecil yang menjadi ruang cuplikan yang mana pancaran radiasi dapat menembusnya, secara berkala dipompakan untuk mempertahankan vakum tinggi karena kebocoran helium melalui lubang tersebut. Dengan jelas, kebutuhan vakum tinggi berarti pengukuran pada cuplikan padatan adalah jauh lebih mudah daripada gas atau cair. Namun modifikasi seperti menggunakan teknik aliran memastikan bahwa data yang diperoleh berguna untuk kemudian. Gambar 5.14 menunjukkan energi ikat dari elektron dalam tingkat energi dari tiga unsur berbeda. Setiap tingkat diberi label dengan term symbolnya (1s, 2p, dll) dan dengan notasi sinar x yang kadang digunakan pada spektroskopi fotoelektron. Pada notasi ini tingkat energi diberikan huruf sesuai pada kerangkanya. Untuk n = 1 2 3 4 dst.
Notasi sinar X K L M N dst.

Gambar 5.14 Energi ikat elektron pada atom bebas hidrogen, litium, dan Fluorin Jika perlu, garis bahwa menandakan subtingkat dari elektron yang dikeluarkan. Mengikuti contoh yang menunjukkan kedua notasi untuk bagian kecil yang dipilih.
Term symbol 1S0 2S0 2P1/2 2P3/2
Notasi sinar x K L1 L2 L3 Pada keduanya, spektroskopi fotoelektron sinar x dan spektroskopi fotoelektron ultraviolet energi kinetik dari elektron yang dikeluarkan diukur menggunakan analiser hemisherical seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.15. Radiasi monokromatik sinar x dan ultraviolet jatuh pada cuplikan dan elektron yang keluar menembus antara pasangan dari lempengan hemispherical bermuatan listrik yang bertindak sebagai penyaring energi, memungkinkan elektron hanya dari energi kinetik tertentu untuk menembus melalui energi tembusnya, E pass. Arus elektron yang dihasilkan, dihitung melalui pengganda elektron, mengindikasikan jumlah dari elektron yang keluar dari permukaan dengan energi kinetiknya. Spektrum fotoelektron tersebut adalah alur dari jumlah elektron yang dipancarkan terhadap energi kinetiknya.

Gambar 5.15 Skema diagram dari Spektrometer fotoelektron

Gambar 5.16 (a) spektra gas argon fotoelektron sinar X dan (b) ultraviolet. (c) tingkat energi dari keadaan puncak (a) dan (b) dalam spektra. Gambar 5.16 menunjukkan bagian dari spektra spektroskopi fotoelektron sinar x dan spektroskopi fotoelektron ultraviolet dari argon dengan ilustrasi terkait dengan tingkat energinya. Jumlah dari puncak diobservasi yang merupakan sifat dari Ar+ hasil dari perpindahan dari elektron tunggal dari setiap tingkat yang berbeda. Contohnya, elektron berpindah dari orbital 2p meninggalkan konfigurasi belakangnya 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6, karena kombinasi yang mungkin dari nilai l dan s, menghasilkan dua tingkat energi yang sedikit berbeda, 2P3/2 dan 2P1/2. 2P3/2 sedikit lebih tinggi dalam energinya sehingga ketika keadaannya terbentuk, kepergian elektron membawa energi kinetik yang sedikit lebih kecil. Splitting j ini dapat terlihat yang menimbukan dua puncak dalam spektra. Kemungkinan dari keluarnya elektron dari tingkat energi tertentu akan jelas didasarkan pada jumlah elektron semula pada level tersebut, yaitu pada degenerasinya. Di bawah kondisi operasi ideal, area dibawah puncak spektroskopi fotoelektron diukur dari degenerasinya. Perbandingan dari total area dibawah puncak dihasilkan dari eksitasi dari elektron 3s dan 2p pada gambar 5.16 yang menunjukkan rasio sekitar 1:3, seperti yang diharapkan ( dua elektron pada 3s dan enam pada 2p). Hal ini juga terlihat dari formasi pada 2P1/2, ini disebabkan setiap tingkat memiliki degenerasi dari 2J+1, yaitu 4 untuk 2P3/2 dan 2 untuk 2P1/2.

           µ = - e/2m J JT-1
(disini kita menggunakan unit SI tentang medan magnet, Tesla (T), yangsetara dengan 10000 Gauss di dalam unit electromagnet) Namun, mekanika quantum menunjukkan bahwa elektron bukanlah sebuah titik bermuatan dan yan g lebih tepat untuk menunjukkan M adalah:
           µ = - ge/2m J = - ge/2m √(J(J+1)) h/2π JT-1
Dimana g adalah factor nilai/angka murni, yang disebut factor pemisahan/pembagi Lande. Faktor ini bergatung pada keadaan elektron di dalam atom dan diberikan:
           g= 3/2+ (S(S+1)- L(L+1))/(2J(J+1))
Secara umum g berkisar antara 0 dan 2. Sekarang mari kita ingat kembali (cf. Eq. (5.13) untuk satu elektron) dimana J dapat memiliki baik komponen integral atau separuh integral pada sepanjang arah referensi tergantung pada apakah J merupakan bilangan kuantum integral atau separuh integral. Gambar 5.17 (a) menunjukkan hal ini untuk sebuah keadaan dimana J = 3/2, 2J+1 komponen yang telah diberikan secara umum sebagai:            Jz = J, J-1,…, 1/2 atau 0, … , -J
Untuk lebih lanjutnya, karena μ proporsional dengan J, μ juga akan mempunyai komponen dalam arah ≠ yang diberikan oleh:
           µz = - ge/2m h/2π Jz
hal ini ditunjukkan diagram pada gambar, 5,17 (b). jika saat ini medan eksternal diterapkan pada atom, sehingga sebelumnya menentukan arah ≠ yang berubah-ubah, μ magnetic dipole atom akan berinteraksi dengan medan listrik ke tingkat yang tergantung pada komponen dalam arah medan. Jika kekuatan medan yang digunakan adalah Bz maka tingkat interaksi hanya μzBz;
         Interaksi = E = μzBz = -heg/4πm Bz J
dalam persamaan ini kita telah menyatakan interaksi sebagai ∆E karena penerapan medan memisahkan kemerosotan tingkat energi asli yang sesuai dengan nilai-nilai 2J +1 dari Jz menjadi 2J + 1 tingkat energi yang berbeda. Ini ditampilkan untuk J = 3/2 pada Gambar. 5.17 (c). Pemisahan ini, atau penerapan pencabutan degenerasi pada medan magnet luar, disebut efek Zeeman sebagaimana nama penemunya. Pemisahan energi yang terjadi sangat kecil, sedangkan he/4𝜋m faktor Persamaan. (5.31), yang juga dikenal sebagai magneton Bohr, memiliki sebuah nilai 9,27 x 10-24 JT-1, dengan demikian untuk g = 1, dan untuk medan Bz satu tesla (yaitu 10000 gauss), energi interaksi hanya beberapa 10-23 joule, yang pada gilirannya adalah urutan 0,5 cm-1. Pembelahan kecil ini, tentu saja, tercermin dalam pemecahan transisi spektral yang diamati ketika medan magnet diterapkan pada atom. Untuk membahas efek pada spektrum kita perlu satu aturan seleksi selanjutnya: Jz = 0, ± 1 Mari kita pertimbangkan garis doublet dalam spektrum natrium yang telah dihasilkan, seperti yang telah kita bahas di Sec. 5.3.2, dengan transisi antara keadaan-keadaan 2S1/2 dan 2P1/2 dan keadaan 2P3/2. Ketika medan Bz diterapkan pada atom, dimana 2S1/2 dan 2P1/2 keadaan keduanya terbelah menjadi dua (sejak J = ½, 2J+1=2), sedangkan 2P3/2 dibagi menjadi empat. Tingkat pemisahan (Persamaan (5.31)) sebanding dengan faktor g di keadaan masing-masing dan, dari Persamaan. (5.28), kita dengan mudah dapat menghitung:
      2S1/2: S = ½, L = 0, J = ½, hence g = 2
      2P1/2: S = ½, L = 1, J = ½, hence g = 2/3
      2P2/3: S = ½, L = 1, J = 3/2, hence g = 4/3 dan kita melihat bahwa tingkat 2S1/2, 2P1/2, dan 2P2/3 dibagi dalam rasio 3 : 1 : 2. Kami menunjukkan situasi pada Gambar. 5.18. Pada bagian kiri dari gambar kita melihat tingkat energi dan transisi sebelum medan Bz diterapkan, tingkat yang tidak dapat dipisah dan spektrum adalah sebuah doublet sederhana. Di sebelah kanan kita melihat efek dari medan yang diterapkan. Spektrum menunjukkan bahwa garis aslinya karena transisi 2S1/2 2P1/2 menghilang dan digantikan oleh empat baris baru, sedangkan transisi 2S1/2 2P3/2 digantikan oleh enam baris baru. Efek dijelaskan di atas biasanya disebut sebagai anomali efek Zeeman. Pada kenyataannya, sebagian besar atom menunjukkan efek dalam bentuk ini. Efek Zeeman yang normal berlaku untuk transisi antara keadaan singlet saja (misalnya transisi elektron dalam atom helium ditampilkan pada sebelah kiri Gambar. 5.11). Untuk keadaan singlet kita miliki:
           2S + 1 =     sebab     S = 0
maka:
           J = L     dan     g = 1
dengan demikian pemisahan antara semua tingkat singlet adalah identik untuk bidang yang diterapkan dan spektrum Zeeman terkait jauh disederhanakan.


                I = √(I(I+1)) h/2π= √(I(I+1)) unit
dapat mempunyai nilai 0, √(3/2),√(2,) √(15/2), dan lainnya
Efek dari I pada spectrum dapat dimengerti jika kita menetapkan momentum total (elektronik + nuklir) dari sebuah atom dengan F: F = √(F(F+1)) h/2π= √(F(F+1)) unit
dimana F adalah angka total dari momentum quantum. Jika, seperti sebelumnya, J adalah jumlah nomor kuantum elektronik, maka kita dapat menulis:
           F = J + I, J + I – 1, … | J – I |
dengan demikian memberikan perbedaan keadaan energi 2J + 1 atau 2I +1, atau mana yang kurang.
Pemisahan tingkat energi karena putaran inti adalah urutan 10-3 bahwa karena putaran elektron, dengan demikian penyelesaikan daya yang sangat baik diperlukan untuk pengamatan yang biasanya disebut sebagai struktur hyperfine.
Semoga bermanfaat...
ReplyDeleteya Allah membantu banget, buat ujian Spektroskopi molekul, wish me luck
ReplyDeleteRespect and I have a keen provide: How Much Is A Complete House Renovation home exterior makeover
ReplyDelete