Featured Post

Sifat-sifat Unsur dan Kegunaannya

A. Hidrogen 1. Pengertian Hidrogen berasal dari bahasa Yunani, yaitu hydro yang berarti air dan genes yang berarti pembentukan. Hidrogen a...

Monday, 25 July 2016

JENIS-JENIS KARAKTERISASI PADA POLIMER

KARAKTERISASI POLIMER

1. Penentuan Berat Molekul

Penentuan berat molekul harus dilakukan secara akurat untuk mengetahui sifatnya. Penentuan berat molekul bergantung pada teknik pengukuran yang dilakukan, seperti tekanan osmotik yang dilakukan untuk menghitung jumlah molekul dalam larutan sehingga diperoleh berat molekul rata-rata jumlah, Mn, (Persamaan 1), sedangkan teknik light scattering dapat menentukan berat molekul rata-rata berat, Mw, (Persamaan 2). Teknik yang paling sederhana dan banyak digunakan untuk menentukan berat molekul polimer adalah viscometer. Pada teknik ini, waktu diukur saat larutan polimer mengalir melewati kapiler. Pengukuran waktu pada konsentrasi polimer yang berbeda dan dibandingkan dengan waktu yang diperoleh untuk pelarut murni dapat menentukan viskositas intrinsic (ƞ) suatu polimer. Viskositas intrinsic ini dapat dihubungkan dengan persamaan Mark-Houwink-Sakurada (Persamaan 3), dimana M adalah berat molekul rata-rata, K dan a adalah konstanta. Nilai a dapat ditentukan secara langsung oleh interaksi antara pelarut dengan polimer.

Pada Kromatografi Permeasi Gel (GPC), pengukuran berat molekul dihubungkan dengan volum hidronamik molekul. Teknik ini didasarkan pada fenomena ukuran partikel, pemisahan dan penentuan sistem polidispers seperti pada polimer dan multi komponen sampel biologi. Polimer dipisahkan dengan volum hidronamiknya. Larutan polimer mengalir melalui kolom fasa padat berpori (sering digunakan polistiren yang diikat silang dengan divinil benzen); molekul kecil dapat lebih mudah masuk melewati pori-pori dibandingkan dengan molekul yang besar yang mengakibatkan jalur pergerakan molekul kecil semakin panjang dan lebih lama sehingga molekul yang lebih besar akan keluar lebih dahulu. Teknik ini tidak dapat memberikan harga mutlak, tapi dapat mengetahui harga relatif dengan adanya suatu sampel yang dibandingkan. Oleh karena itu, teknik ini membutuhkan kalibrasi dengan memberikan sederet polimer yang sudah diketahui berat molekulnya. Karena teknik ini bergantung pada ukuran partikel, maka jenis polimer dan pelarut yang digunakan sangat penting untuk diperhatikan.

Data yang diperoleh dari polistiren dengan pelarut klorofom tidak sama dengan polistiren yang menggunakan pelarut tetrahido furan (THF). Poli(metil metakrilat) dalam pelarut THF tidak boleh dibandingkan dengan standar polistiren. Saat mensintesis polimer baru, tidak mungkin untuk menggunakan standar yang ada, dan banyak usaha yang dilakukan untuk menemukan penyelesaian masalah tersebut. Salah satu metode yang populer adalah menggunakan GPC yang digabungkan dengan detektor vikositas, yang dikenal sebagai metode kalibrasi universal. Teknik ini menggunakan hubungan antara volum elusi dengan hasil dari vikositas intrinsik dan berat molekul. Sistem GPC yang tebaru dilengkapi dengan detektor light scattering menjadi metode yang lebih populer. Metode ini dapat menentukan distribusi berat molekul sampel polimer dengan sangat baik.


Gambar 1.1 Data GPC dari dendrimer poliaromatik yang mengandung monomer amida-ester.

Gambar di atas menunjukkan adanya dua jenis dendrimer yang memiliki bentuk monodispers oleh Matrix-assisted laser desorption ionization-time of flight (MALDI-TOF) (dikarenakan GPC tidak memiliki resolusi yang cukup dalam menyediakan tampilan gambar yang akurat untuk distribusi berat molekul sampel tersebut).

2. Komposisi dan Struktur

1H dan 13C NMR adalah alat yang sangat penting untuk digunakan dalam karakterisasi material polimer. 1H NMR dapat memberikan informasi yang berhubungaan dengan komposisi senyawa. Hal ini sangat penting dalam mengetahui informasi suatu kopolimer seperti penentuan rasio reaktivitas, dan untuk polimer vinil dapat memberikan informasi tentang adanya monomer yang tidak reaktif. Pada penentuan struktur poli(metil metakrilat), taktisitas polimer dapat ditentukan langsung dengan menggunakan 1H NMR. Akan tetapi, sering ditemukan garis lebar pada spektra 1H NMR yang relatif besar dibandingkan dengan perbedaan pergeseran kimia pada struktur yang berbeda. Oleh karena itu, taktisitas polimer dapat diamati dari spektra 13C NMR. Gambar 2.1 menunjukkan adanya resonansi nitril dari sampel polakrilonitril; variasi susunan streokimia dapat diselesaikan dan ditetapkan untuk variasi unit berulang pentad. Sedangkan untuk kandungan rantai utama polimer dari poliakrilat tidak diketahui.


Gambar 2.1 Spektra NMR poliakrilonitril

Pada sistem kopolimer, NMR tidak hanya digunakan untuk menentukan komposisi dan reaktivitas relatif dari dua monomer, tapi juga dapat digunakan untuk menentukan urutan monomer dalam rantai polimer. Hal ini memungkinkan seseorang untuk membedakan antara kopolimer blok dengan kopolimer bergantian (alternating copolymer), dan memungkinkan untuk mengetahui rasio reaktivitasnya. Gambar 2.2 menunjukkan bagian nitril dari spektra 13C NMR diamati dari kopolimer akrilonitril dan 2-vinil piridin. Penentuan jumlah mikrostruktur beberapa perhatian karena tingginya intensitas pada 13C NMR tidak hanya bergantung pada jumlah molekul yang terkandung dalam bagian susuan tersebut tapi juga bergantung pada faktor lingungan. Banyaknya faktor lingkungan yang terdapat pada beberapa mikrostruktur dapat mempengaruhi tingginya intensitas sehingga dapat digunakan untuk membedakan adanya beberapa deret unit komonomer.


Gambar 2.2 Spektra 13C NMR dari kopolimer akrilonitril(A)/2-vinil piridin(P) (30:70).

NMR ini bukan satu-satunya teknik analisis yang digunakan untuk membedakan komposisi dan mikrostruktur dari material suatu polimer. Teknik analisis lain yang dapat digunakan antara lain, spektroskopi ultraviolet-visible (UV-Vis), spektroskpi Raman dan spektroskopi inframerah (IR). Spektroskopi IR dan Raman dapat digunakan untuk mengetahui ikat silang, atau adanya unit aromatik, material bentuk lelehan atau larutan dalam suatu pelarut yang sesuai dengan NMR.

3. Mikroskopi Elektron

Mikroskopi elektron diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu Transmission Electron Microscopy (TEM) yang melibatkan spesimen tipis dan Scanning Electron Microscopy (SEM) yang melibatkan sampel pada fasa ruahnya. Saat polimer dikenai berkas elektron, energinya akan dihamburkan dalam suatu spesimen sehingga ikatan menjadi putus serta sifat fisik dan kimia menjadi berubah.

3.1 Untuk TEM, dasar yang diperlukan adalah spesimen yang digunakan harus tipis untuk dilakukan transmisi berkas elektron (~100 nm). Secara spesifik, spesimen yang tipis dapat diuji langsung atau setelah dilapisi lapisan pendukung (support) tapi menyebabkan perubahan geometri molekul. Pada material polimer, ultramikrotonomi adalah cara yang dapat langsung digunakan, tapi proses pemotongan sangat sulit dilakukan, melibatkan banyaknya spesimen yang terurai. Teknik alternatif yang digunakan meliputi, in situ kristalisasi, mechanical elongation, dan fragmetasi.

Dalam TEM, gambar yang kontras bergantung pada variasi jumlah atom (Z-contrast), variasi ketebalan (thickness contrast) dan difraksi Bragg (diffraction contrast). Dalam material polimer konduktor (conducting polymer) dan polimer campuran (blending polymer) variasi komposisi dapat mempengaruhi gambar yang kontras. Gambar yang kontras dapat dipengaruhi oleh perlakuan kimia dari spesimen dan mempengaruhi beberapa titik-titik noda yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada pendistribusian densitas elektron suatu unsur kedalam struktur pada sisi partikular, reaksi kimia atau absorpsi fisik.

Noda polimer yang banyak digunakan antara lain, osmium tetraoksida (OsO4) (yang secara luas diterapkan untuk kopolimer blok tak jenuh) dan sistem modifikasi karet), ruthenium tetraoksida (RuO4) (titik noda yang sudah banyak diaplikasikan dengan sukses pada berbagai jenis polimer yang berbeda), asam klorosulfonat dan asam fosfotungstat (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Hasil TEM titik noda Ru-O4 pada film tipis polimer campuran dengan struktur ataktik polistiren/Kraton G1650 (polistiren 30%).

Cara alternatif yang menghasilkan spesimen tipis dimana transmisi berkas elektron yang bervariasi berkaitan dengan struktur adalah replikasi permukaan. Meskipun terdapat banyak variasi, replikasi melibatkan penguapan dari beberapa densitas elektron logam ke dalam permukaan sampel yang disebut shadowing (untuk memberikan gambar yang kontras), diikuti produksi lapisan tipis (lapisan tipis pendukung yang transparan).

3.2 SEM adalah sejenis mikroskop yang menggunakan elektron untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis menggunakan SEM dapat mengetahui struktur mikro (termasuk porositas dan bentuk retakan) dari benda padat. Pada dasarnya SEM terdiri dari empat bagian utama, yaitu penembak electron (electron gun), perangkat demagnetisasi, perangkat penarikan (scan unit) dan sistem deteksi. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filament yang dipanaskan dan disebut sebagai electron gun. Gelombang elektron ini terkondensasi pada lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa obyektif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan dikumpulkan oleh detektor sekunder. Gambar yang dihasilkan oleh SEM berasal dari ribuan titik yang diperoleh dari berbagai intensitas pada permukaan tabung sinar katoda (CRT, Cathode Ray Tube). Kolom cuplikan berada dalam sebuah ruang vakum. Salah satu sebabnya untuk menghilangkan udara/gas yang ada, karena gas dapat bereaksi dengan sinar elektron. Cuplikan yang akan dianalisis dalam SEM perlu dilapisi oleh suatu lapisan tipis yang bersifat sebagai material penghantar listrik.


Gambar 3.2 Hasil SEM membran kitosan :
(a) murni, (b) 10% abu layang, (c) 30% abu layang dan (d) 50% abu laying

Gambar 3.2 merupakan hasil karakterisasi polimer komposit kitosan/abu layang dengan menggunakan SEM. Dari gambar tersebut terlihat bahwa membran kitosan murni memiliki morfologi yang halus dan rata, sedangkan pada membran komposit kitosan/abu layang memiliki morfologi yang kasar. Hal ini menunjukkan bahwa partikel abu layang sudah terdispersi secara merata dalam matriks polimer.

4. Fourier Transform Infrared Spectroscopy

Dua metode instrumental dari spektroskopi IR (Inframerah) yaitu metode dispersif yang lebih tua, di mana prisma atau kisi digunakan untuk mendispersikan radiasi IR, dan metode Fourier transform (FT) yang lebih baru, yang menggunakan prinsip interferometri. Beberapa keunggulan dari FT-IR ini yaitu persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi data karena memiliki komputer yang terdedikasi.

Spektrum-spektrum dispersif dari sebagian besar polimer impor komersial telah diketahui sehingga identifikasi kualifikasi zat-zat yang tidak diketahui bisa diselesaikan dengan perbandingan. Hal ini mencakup polimer-polimer yang memiliki stereokimia atau distribusi rangkaian monomer yang bervariasi, karena perbedaan tersebut akan mengahsilkan spektrum-spektrum yang berbeda. Jika spektrum-spektrum komparatif tidak tersedia, maka untuk mengetahui struktur polimer bisa diperoleh melalui pertimbangan terhadap pita-pita absorpsi gugus fungsional, atau dengan membandingkan spektrum-spektrum dengan spektrum senyawa-senyawa model berat molekul rendah yang siap dikarakterisasi dengan struktur yang mirip.

FT-IR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitian-penelitian struktur polimer. Oleh karena spektrum-spektrum dapat dipindai, disimpan dan ditransformasikan dalam hitungan detik, maka teknik ini memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Ukuran sampel yang sangat kecil memudahkan penggabungan metode FT-IR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi.

FT-IR berguna dalam meneliti paduan-paduan polimer. Sedangkan paduan yang tidak dapat bercampur memperlihatkan suatu spektrum IR yang merupakan superposisi dari spektrum homopolimer, spektrum paduan yang dapat bercampur adalah superposisi dari tiga komponen yaitu dua spektrum homopolimer dan satu spektrum interaksi yang timbul dari interaksi kimia atau fisika antara homopolimer.


Gambar 4.1 Hasil FTIR membran kitosan:
(a) murni, (b) abu layang 10%, (c) abu layang 30% dan (d) abu layang 50%.

Dari gambar di atas, menunjukkan adanya puncak yang khas pada masing – masing membran. Terdapat puncak pada bilangan gelombang 3246, 2919, 1617, 1541, 1375 dan 1054 cm-1 yang masing – masing menunjukkan adanya gugus –OH, vibrasi ulur –CH2, vibrasi tekuk amida I dan amida II, vibrasi tekuk –CH2, serta vibrasi ulur C–O. Puncak pada bilangan gelombang 517 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi tekuk unit tetrahedaral (Si, Al)O4. Membran dengan kandungan abu layang 50% memiliki intensitas yang paling besar dibandingkan yang lainnya. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara abu layang termodifikasi dengan matriks kitosan. Selain itu, dengan adanya abu layang ini menyebabkan meningkatnya intensitas di daerah bilangan gelombang 3246 cm-1 karena sebagian besar kandungan abu layang adalah silika yang memiliki gugus –OH.

5. Atomic Force Microscopy

AFM (Atomic Force Microscopy) merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengetahui topografi permukaan suatu sampel secara mikroskopik. AFM terdiri atas centilever dengan tip yang tajam pada ujungnya. Saat tip tersebut berdekatan dengan suatu sample, medan gaya antara probe dan sample akan menghasilkan defleksi pada centilever. Berdasarkan prinsip ini, bisa diperoleh informasi mengenai: gambar 3D, kehalusan/kekasaran permukaan, dan gaya.

Gambar 5.1 Prinsip Kerja AFM

Gambar 5.2 merupakan hasil karakterisasi suatu sampel membran komposit nafion-laponit teraktivasi dengan AFM. Tingkat kekasaran membran nafion murni lebih rendah dibandingkan membran nafion-laponit. Hal ini disebabkan karena distribusi partikel laponit (Gambar 5.2 b) telah terdistribusi ke dalam hampir seluruh permukaan nafion.

Gambar 5.2 AFM topografi 3D. (a) membran nafion murni dan (b) membran nafion-laponit.

6. Thermogravimetri Analysis (TGA)

TGA adalah suatu teknik pengukuran variasi berat sampel sebagai fungsi suhu pemanasan dalam atmosfer yang terkontrol. Variasi berat ini berupa hilangnya berat ataupun bertambahnya berat sampel materi, sehingga titik fokus analisis adalah perubahan berat sampel materi terhadap pemanasan. Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan kemurnian sampel, perilaku dekomposisi, stabilitas termal, degradasi termal, reaksi kimia yang melibatkan perubahan berat materi akibat absorpsi, desorpsi, dan kinetika kimia.

Tempat sampel diletakkan pada pemanas elektrik dalam termocouple untuk mengukur temperatur. Atmosfer murni dengan gas inert berfungsi untuk mencegah reaksi oksidasi atau reaksi lain yang tidak diinginkan. Komputer digunakan untuk mengontrol instrumen. Analisis TGA dilakukan dengan meningkatkan temperatur secara berangsur-angsur dan membuat plotting antara berat dan suhu. Bagian-bagian dari instrument TGA ini dapat dilihat pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1 Bagian-bagian dari Instrumen TGA.

Salah satu contoh hasil analisis dengan menggunakan TGA yaitu analisis termal membran hibrid 2-acrylamido-2-methylpropanesulfonic acid (AMPS) – montmorillonite (MMT) yang digunakan sebagai filler Nafion. Uji analisis termal menggunakan TGA dilakukan dengan tujuan untuk mengamati stabilitas termal dan dekomposisi dari membran hibrid, sifat tersebut akan dibandingkan dengan membran Nafion murni. Hasil analisis TGA untuk tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.2.

Gambar 6.2 Termogram TGA dari membran nanokomposit Nafion/AMPS-MMT yang dibandingkan dengan membran Nafion murni.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa kedua membran, baik membran nanokomposit Nafion/AMPS–MMT maupun membran Nafion murni memiliki dua langkah pola degradasi. Pada kurva membran nanokomposit, berat dari membran berkurang pada daerah suhu 220 °C, hal ini disebabkan karena terjadinya dekomposisi dari gugus sulfonat pada gugus samping Nafion seperti halnya dengan molekul AMPS. Pengurangan berat yang kedua, terjadi pada suhu 300 °C yang disebabkan karena terdegradasinya gugus terflourinasi pada rantai utama polimer Nafion. Meskipun pada kurva terlihat pola dekomposisi yang hampir sama antara membran nanokomposit dan membran Nafion murni, adanya AMPS–MMT membuat membran nanokomposit Nafion/AMPS–MMT memiliki stabilitas termal yang sangat baik pada kedua tahap degradasi.

7. Analisis Kristalinitas Polimer Menggunakan X-Ray Diffraction (XRD)

Metode difraksi sinar-X adalah salah satu cara untuk mempelajari keteraturan atom atau molekul dalam suatu struktur tertentu. Jika struktur atom atau molekul tertata secara teratur membentuk kisi, maka radiasi elektromagnetik pada kondisi eksperimen tertentu akan mengalami penguatan. Pengetahuan tentang kondisi eksperimen itu dapat memberikan informasi yang sangat berharga tentang penataan atom atau molekul dalam suatu struktur.

Sinar-X dapat terbentuk bilamana suatu logam sasaran ditembaki dengan berkas elektron berenergi tinggi. Dalam eksperimen digunakan sinar-X yang monokromatis. Kristal akan memberikan hamburan yang kuat jika arah bidang kristal terhadap berkas sinar-X (sudut ϴ) memenuhi persamaan Bragg, seperti ditunjukkan dalam persamaan (4).
2d sinϴ = nλ ……………………........... (4)
dimana :
d = jarak antar bidang dalam kristal
ϴ = sudut deviasi
n = orde (1, 2, 3, 4, … )
λ = panjang gelombang

Difraksi sinar-X dapat memberikan informasi tentang struktur polimer, termasuk tentang keadaan amorf dan kristalin polimer. Polimer dapat mengandung daerah kristalin yang secara acak bercampur dengan daerah amorf. Difraktogram sinar-X polimer kristalin menghasilkan puncak-puncak yang tajam, sedangkan polimer amorf cenderung menghasilkan puncak yang melebar. Pola hamburan sinar-X juga dapat memberikan informasi tentang konfigurasi rantai dalam kristalit, perkiraan ukuran kristalit, dan perbandingan daerah kristalin dengan daerah amorf (derajat kristalinitas) dalam sampel polimer.

Pada umumnya bahan polimer bersifat semikristalin, yang berarti memiliki bagian amorf maupun bagian kristalin. Baik bagian amorf maupun bagian kristalin dapat menunjukkan intensitas hamburan yang spesifik.

Penentuan derajat kristalinitas dengan difraksi sinar-X dapat dilakukan atas dasar asumsi bahwa daerah kristalin dan amorf terdapat dalam substansi yang sama dan memberikan kekuatan hamburan yang ekuivalen. Derajat kristalinitas (Xc) ditentukan menggunakan persamaan (5).


Gambar 7.1 Difraktogram XRD poliuretan :
a). hasil sintesis dari PEG400–MDI dan b). 15% amilosa–PEG400–MDI

Dari Gambar 7.1, poliuretan dari PEG 400–MDI sebelum biodegradasi memiliki derajat kristalinitas sebesar 33,799 % dan sesudah biodegradasi menjadi 31,506 %. Dengan kata lain proses biodegradasi dapat menurunkan derajat kristalinitas. Penurunan derajat kristalinitas tidak hanya disebabkan oleh terjadinya penuurunan intensitas pada daerah kristalin tetapi juga pada daerah amorf.

1 comment: